PERBANDINGAN MADZHAB
DALAM WAKALAH DAN SULUH
DALAM WAKALAH DAN SULUH
Disusun untuk memenuhi tugas ujian akhir mata dirosah :
Fiqh Muqaran Fi al-Mu’amalah
Dosen pengampu : Arif Kurniawan, M.H.I
Fiqh Muqaran Fi al-Mu’amalah
Dosen pengampu : Arif Kurniawan, M.H.I

Disusun oleh:
Abdul Aziz
Abdul Aziz
MA’HAD ‘ALIY
PONDOK PESANTREN WAHID HASYIM
YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang
muslim selalu menjalankan muamalah. Muamalah sendiri merupakan hubungan
transaksi antar manusia yang diatur oleh Islam. Lebih luas lagi setiap hubungan
manusia dengan manusia merupakan muamalah.
Ada banyak sekali macam-macam
muamalah yang dikaji dalam fiqh, diantaranya adalah wakalah (perwakilan) dan suluh
(mediasi). Terdapat berbagai macam pendapat ulama fiqh dalam wakalah dan suluh.
Pendapat-pendapat tersebut yang bermuara pada beberapa madzhab besar. Seorang
muslim yang mendalami ilmu fiqh perlu tahu tentang perbedaan pendapat tersebut
agar lebih bijak dalam menanggapi hukum fiqh yang ada. Oleh karena itu, akan
dibahas mengenai perbandingan madzhab dalam wakalah dan suluh.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apakah pengertian madzhab?
2. Apakah pengertian wakalah?
3. Apakah pengertian suluh?
4. Bagaimana perbandingan madzhab dalam wakalah?
5. Bagaimana perbandingan madzhab dalam suluh?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Madzhab
Madzhab artinya aliran, golongan,
faham, pokok pikiran dari seseorang. Madzhab fiqh berarti aliran atau faham
dalam fiqh yang berhubungan dengan penafsiran dan pelaksanaan hukum Islam. Fiqh
yang dimaksud adalah produk ijtihad ulama dalam masalah-masalah hukum Islam
yang didasarkan pada sumber-sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis.[1]
Dalam pembahasan ini perbadingan
madzhab lebih ditekankan pada perbandingan pendapat ulama-ulama madzhab serta
pengikutnya dalam membahas suatu hukum. Karena antara pendapat satu dengan yang
lain memiliki perbedaan yang disebabkan perbedaan metodologi.
B. Pengertian Wakalah
Menurut bahasa, kata al-wakalah adalah menjaga
dan meneyerahkan. Sedangkan menurut syara’ adalah penyerahan perkara oleh
seseorang terhadap orang lain dalam melaksanakan suatu perbuatan yang dapat
diganti untuk dikerjakan semasa dia masih hidup.[2]
Menurut Hanafiyah, wakalah adalah memosisikan orang lain
sebagai pengganti dirinya untuk menyelesaikan suatu persoalan yang
diperbolehkan secara syar’i dan jelas jenis pekerjaannya. Atau mendelegasikan
suatu persoalan kepada orang lain (wakil).[3]
Adapun
rukun wakalah ada empat:
1.
Muwakkil (orang yang mewakilkan)
2.
Wakil (orang yang menjadi wakil)
3.
Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan)
4.
Shighot (serah-terima)[4]
C. Pengertian Suluh
Secara bahasa, suluh
(mediasi) adalah menghentikan permusuhan atau perselisihan. Sedangkan menurut
syara’, mediasi adalah proses perjanjian untuk menghentikan permusuhan kedua
belah pihak.[5]
Suluh juga berarti
melerai pertengkaran. Jadi, dapat diartikan secara syara’, suluh adalah akad
yang dengan akad tersebut pertengkaran bisa dilerai.[6]
Dalam makalah
ini mediasi (suluh) yang dibahas berfokus pada muamalah. Dalam muamalah suluh
dibagi menjadi dua:
1. Suluh yang
menghalalkan perkara haram, seperti mediasi yang berkenaan dengan arak dan
sejenisnya.
2. Suluh yang
mengharamkan perkara halal, seperti mediasi seorang suami dengan istrinya untuk
tidak menalaknya dan lain sebagainya.[7]
D. Perbedaan Madzhab dalam Wakalah
Dalam
wakalah, ada beberapa perbedaan menurut berbagai ulama madzhab, antara lain:
1.
Terkait rukun wakalah, meliputi muwakkil dan wakil.
a.
Muwakkil
Ulama bersepakat atas wakalah dari orang yang tidak ada, orang sakit dan
perempuan yang berhak atas dirinya. Namun, ulama fiqh berbeda pendapat dalam
perwakilan dari lelaki yang hadir dan sehat. Adapun perbedaan tersebut:
1) Imam Malik dan Imam Syafi’i memberbolehkan.
2) Abu Hanifah tidak memperbolehkan.
b. Wakil
1) Imam Syafi’i tidak memperbolehkan pernikahan perempuan
untuk diwakilkan.
2) Imam Malik memperbolehkan pernikahan perempuan untuk
diwakilkan laki-laki.
2.
Terkait hukum-hukum, meliputi hukum akad dan hukum perbuatan wakil.
a.
Hukum akad
1)
Semua ulama bersepakat wakil boleh memberikan mandat wakalahnya pada orang
lain kapanpun ia mau.
2)
Kecuali Abu Hanifah mensyaratkan hadirnya muwakkil.
b.
Hukum perbuatan wakil
Ada beberapa masalah yang masyhur antara lain, jika seseorang diberi
wakalah untuk menjual sesuatu apakah boleh ia membelinya sendiri atau tidak?
Imam Malik memperbolehkannya dan Imam Syafi’i tidak memperbolehkannya.[8]
E. Perbedaan Madzhab dalam Suluh
Dalam hal
suluh (mediasi) yang berbentuk iqrar, ulama bersepakat tentang kebolehannya. Suluh
iqrar adalah seseorang menggugat orang lain yang mempunyai hutang, kemudian
tergugat mengakui hutang tersebut, kemudian mereka melakukan perdamaian.
Adakalanya tergugat yang mengakui hutangnya membayar kembali dengan uang atau
menggantinya dengan barang atau hal-hal lain.
Adapun
suluh yang berbentuk inkar, ulama berbeda pendapat. Suluh inkar berarti
seseorang menggugat orang lain tentang suatu hutang, kemudian terggugat tidak
mengakuinya. Setelah itu, penggugat dan tergugat melakukan suluh (damai). Kedua
suluh ini juga berlaku pada selain hutang, seperti ketika tergugat merusak
barang milik penggugat dan sebagainya.
Perbedaan
pendapat tersebut antara lain:
1.
Imam asy-Syafi’i tidak memperbolehkan suluh
inkar karena sama saja memakan harta dengan bathil tanpa adanya penukaran
terhadap hutang yang digugatkan oleh penggugat.
2.
Abu Hanifah dan Imam Malik memperbolehkan
suluh inkar. Madzhab maliki berpendapat, dalam suluh inkar tersebut ada
pengganti/penukaran terhadap gugatan. Pengganti tersebut berupa berhentinya
perdebatan dan tercegahnya sumpah dari si penggugat. Artinya keduanya saling
diuntungkan.[9]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di bab sebelumnya, maka
dapat diambil kesimpulan antara lain:
1.
Madzhab fiqh
berarti aliran atau faham dalam fiqh yang berhubungan dengan penafsiran dan
pelaksanaan hukum Islam.
2.
Wakalah adalah penyerahan perkara oleh seseorang terhadap orang lain
dalam melaksanakan suatu perbuatan yang dapat diganti untuk dikerjakan semasa
dia masih hidup.
3.
Suluh adalah
proses perjanjian untuk menghentikan permusuhan kedua belah pihak.
4.
Dalam wakalah, ada beberapa perbedaan menurut
berbagai ulama madzhab, antara lain:
a.
Terkait rukun wakalah, meliputi muwakkil dan wakil.
b.
Terkait hukum-hukum, meliputi hukum akad dan hukum perbuatan wakil.\
5. Dalam hal suluh (mediasi) yang berbentuk iqrar, ulama
bersepakat tentang kebolehannya. Adapun suluh yang berbentuk inkar, ulama
berbeda pendapat. Ada yang melarang dan memperbolehkannya.
B. Saran
Dengan adanya penulisan makalah
ini, kami selaku penulis berharap dapat memberikan manfaat bagi pembaca agar
dapat mengetahui dan memahami materi tentang perbandingan madzhab dalam wakalah
dan suluh. Namun, pembaca hendaknya tidak cukup hanya dengan menggali wawasan
tentang wakalah dan suluh saja. Jenis muamalah yang lain juga terdapat
perbandingan madzhab di dalamnya. Sepatutnya bagi muslim yang ingin mendalami
ilmu fiqh untuk mempelajari perbandingan madzhab dalam jenis-jenis muamalah
yang lain.
Daftar Pustaka
Juwaini, Dimyauddin,
Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Muhhamad, Abu al-Walid,
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Libanon: Darul Fikr, 2008.
Sodiqin, Ali, Fiqh
Ushul Fiqh; Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta:
Beranda Publishing, 2013.
Syuja’, Abi, Matan
at-Taqrib wa al-Ghoyah, terjemah: Muhammad Nadjib Sadjak, Jatirogo:
Kampoeng Kyai, 2015.
Zuhaili, Wahbah, Fiqih
Imam Syafi’i 2, terjemah: Muhammad Afifi & Abdul Hafiz, Jakarta:
Almahira, 2012.
[1] Ali Sodiqin, Fiqh
Ushul Fiqh; Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta:
Beranda Publishing, 2013), hlm. 145.
[2] Wahbah Zuhaili, Fiqih
Imam Syafi’i 2, terjemah: Muhammad Afifi & Abdul Hafiz, (Jakarta:
Almahira, 2012), hlm. 205.
[4] Abi Syuja’, Matan at-Taqrib wa al-Ghoyah, terjemah: Muhammad Nadjib
Sadjak, (Jatirogo: Kampoeng Kyai, 2015), hlm. 120.
[5] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i ...,
hlm. 131.
[8] Abu al-Walid Muhhamad,
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Libanon: Darul Fikr, 2008),
hlm. 244
Tidak ada komentar:
Posting Komentar