Selasa, 03 Januari 2017

MAKALAH PERBANDINGAN MADZHAB DALAM WAKALAH DAN SULUH

PERBANDINGAN MADZHAB
DALAM WAKALAH DAN SULUH
Disusun untuk memenuhi tugas ujian akhir mata dirosah :
Fiqh Muqaran Fi al-Mu’amalah
Dosen pengampu : Arif Kurniawan, M.H.I
Disusun oleh:
Abdul Aziz

MA’HAD ‘ALIY
PONDOK PESANTREN WAHID HASYIM
YOGYAKARTA
2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang muslim selalu menjalankan muamalah. Muamalah sendiri merupakan hubungan transaksi antar manusia yang diatur oleh Islam. Lebih luas lagi setiap hubungan manusia dengan manusia merupakan muamalah.
Ada banyak sekali macam-macam muamalah yang dikaji dalam fiqh, diantaranya adalah wakalah (perwakilan) dan suluh (mediasi). Terdapat berbagai macam pendapat ulama fiqh dalam wakalah dan suluh. Pendapat-pendapat tersebut yang bermuara pada beberapa madzhab besar. Seorang muslim yang mendalami ilmu fiqh perlu tahu tentang perbedaan pendapat tersebut agar lebih bijak dalam menanggapi hukum fiqh yang ada. Oleh karena itu, akan dibahas mengenai perbandingan madzhab dalam wakalah dan suluh.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1.    Apakah pengertian madzhab?
2.    Apakah pengertian wakalah?
3.    Apakah pengertian suluh?
4.    Bagaimana perbandingan madzhab dalam wakalah?
5.    Bagaimana perbandingan madzhab dalam suluh?



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Madzhab
Madzhab artinya aliran, golongan, faham, pokok pikiran dari seseorang. Madzhab fiqh berarti aliran atau faham dalam fiqh yang berhubungan dengan penafsiran dan pelaksanaan hukum Islam. Fiqh yang dimaksud adalah produk ijtihad ulama dalam masalah-masalah hukum Islam yang didasarkan pada sumber-sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis.[1]
Dalam pembahasan ini perbadingan madzhab lebih ditekankan pada perbandingan pendapat ulama-ulama madzhab serta pengikutnya dalam membahas suatu hukum. Karena antara pendapat satu dengan yang lain memiliki perbedaan yang disebabkan perbedaan metodologi.
B. Pengertian Wakalah
          Menurut bahasa, kata al-wakalah adalah menjaga dan meneyerahkan. Sedangkan menurut syara’ adalah penyerahan perkara oleh seseorang terhadap orang lain dalam melaksanakan suatu perbuatan yang dapat diganti untuk dikerjakan semasa dia masih hidup.[2]
          Menurut Hanafiyah, wakalah adalah memosisikan orang lain sebagai pengganti dirinya untuk menyelesaikan suatu persoalan yang diperbolehkan secara syar’i dan jelas jenis pekerjaannya. Atau mendelegasikan suatu persoalan kepada orang lain (wakil).[3]
Adapun rukun wakalah ada empat:
1.    Muwakkil (orang yang mewakilkan)
2.    Wakil (orang yang menjadi wakil)
3.    Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan)
4.    Shighot (serah-terima)[4]
C.  Pengertian Suluh
Secara bahasa, suluh (mediasi) adalah menghentikan permusuhan atau perselisihan. Sedangkan menurut syara’, mediasi adalah proses perjanjian untuk menghentikan permusuhan kedua belah pihak.[5]
Suluh juga berarti melerai pertengkaran. Jadi, dapat diartikan secara syara’, suluh adalah akad yang dengan akad tersebut pertengkaran bisa dilerai.[6]
Dalam makalah ini mediasi (suluh) yang dibahas berfokus pada muamalah. Dalam muamalah suluh dibagi menjadi dua:
1.    Suluh yang menghalalkan perkara haram, seperti mediasi yang berkenaan dengan arak dan sejenisnya.
2.    Suluh yang mengharamkan perkara halal, seperti mediasi seorang suami dengan istrinya untuk tidak menalaknya dan lain sebagainya.[7]
D.  Perbedaan Madzhab dalam Wakalah
Dalam wakalah, ada beberapa perbedaan menurut berbagai ulama madzhab, antara lain:
1.    Terkait rukun wakalah, meliputi muwakkil dan wakil.
a.    Muwakkil
Ulama bersepakat atas wakalah dari orang yang tidak ada, orang sakit dan perempuan yang berhak atas dirinya. Namun, ulama fiqh berbeda pendapat dalam perwakilan dari lelaki yang hadir dan sehat. Adapun perbedaan tersebut:
1)   Imam Malik dan Imam Syafi’i memberbolehkan.
2)   Abu Hanifah tidak memperbolehkan.
b.    Wakil
1)   Imam Syafi’i tidak memperbolehkan pernikahan perempuan untuk diwakilkan.
2)   Imam Malik memperbolehkan pernikahan perempuan untuk diwakilkan laki-laki.
2.    Terkait hukum-hukum, meliputi hukum akad dan hukum perbuatan wakil.
a.    Hukum akad
1)   Semua ulama bersepakat wakil boleh memberikan mandat wakalahnya pada orang lain kapanpun ia mau.
2)   Kecuali Abu Hanifah mensyaratkan hadirnya muwakkil.
b.    Hukum perbuatan wakil
Ada beberapa masalah yang masyhur antara lain, jika seseorang diberi wakalah untuk menjual sesuatu apakah boleh ia membelinya sendiri atau tidak? Imam Malik memperbolehkannya dan Imam Syafi’i tidak memperbolehkannya.[8]
E.  Perbedaan Madzhab dalam Suluh
Dalam hal suluh (mediasi) yang berbentuk iqrar, ulama bersepakat tentang kebolehannya. Suluh iqrar adalah seseorang menggugat orang lain yang mempunyai hutang, kemudian tergugat mengakui hutang tersebut, kemudian mereka melakukan perdamaian. Adakalanya tergugat yang mengakui hutangnya membayar kembali dengan uang atau menggantinya dengan barang atau hal-hal lain.
Adapun suluh yang berbentuk inkar, ulama berbeda pendapat. Suluh inkar berarti seseorang menggugat orang lain tentang suatu hutang, kemudian terggugat tidak mengakuinya. Setelah itu, penggugat dan tergugat melakukan suluh (damai). Kedua suluh ini juga berlaku pada selain hutang, seperti ketika tergugat merusak barang milik penggugat dan sebagainya.
Perbedaan pendapat tersebut antara lain:
1.    Imam asy-Syafi’i tidak memperbolehkan suluh inkar karena sama saja memakan harta dengan bathil tanpa adanya penukaran terhadap hutang yang digugatkan oleh penggugat.
2.    Abu Hanifah dan Imam Malik memperbolehkan suluh inkar. Madzhab maliki berpendapat, dalam suluh inkar tersebut ada pengganti/penukaran terhadap gugatan. Pengganti tersebut berupa berhentinya perdebatan dan tercegahnya sumpah dari si penggugat. Artinya keduanya saling diuntungkan.[9]



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan antara lain:
1.    Madzhab fiqh berarti aliran atau faham dalam fiqh yang berhubungan dengan penafsiran dan pelaksanaan hukum Islam.
2.    Wakalah adalah penyerahan perkara oleh seseorang terhadap orang lain dalam melaksanakan suatu perbuatan yang dapat diganti untuk dikerjakan semasa dia masih hidup.
3.    Suluh adalah proses perjanjian untuk menghentikan permusuhan kedua belah pihak.
4.    Dalam wakalah, ada beberapa perbedaan menurut berbagai ulama madzhab, antara lain:
a.    Terkait rukun wakalah, meliputi muwakkil dan wakil.
b.    Terkait hukum-hukum, meliputi hukum akad dan hukum perbuatan wakil.\
5.    Dalam hal suluh (mediasi) yang berbentuk iqrar, ulama bersepakat tentang kebolehannya. Adapun suluh yang berbentuk inkar, ulama berbeda pendapat. Ada yang melarang dan memperbolehkannya.

B.  Saran
Dengan adanya penulisan makalah ini, kami selaku penulis berharap dapat memberikan manfaat bagi pembaca agar dapat mengetahui dan memahami materi tentang perbandingan madzhab dalam wakalah dan suluh. Namun, pembaca hendaknya tidak cukup hanya dengan menggali wawasan tentang wakalah dan suluh saja. Jenis muamalah yang lain juga terdapat perbandingan madzhab di dalamnya. Sepatutnya bagi muslim yang ingin mendalami ilmu fiqh untuk mempelajari perbandingan madzhab dalam jenis-jenis muamalah yang lain.



Daftar Pustaka
Juwaini, Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Muhhamad, Abu al-Walid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Libanon: Darul Fikr, 2008.
Sodiqin, Ali, Fiqh Ushul Fiqh; Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Beranda Publishing, 2013.
Syuja’, Abi, Matan at-Taqrib wa al-Ghoyah, terjemah: Muhammad Nadjib Sadjak, Jatirogo: Kampoeng Kyai, 2015.
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i 2, terjemah: Muhammad Afifi & Abdul Hafiz, Jakarta: Almahira, 2012.




[1] Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh; Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2013), hlm. 145.
[2] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2, terjemah: Muhammad Afifi & Abdul Hafiz, (Jakarta: Almahira, 2012), hlm. 205.
[3] Dimyauddin Juwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 239.
[4] Abi Syuja’, Matan at-Taqrib wa al-Ghoyah, terjemah: Muhammad Nadjib Sadjak, (Jatirogo: Kampoeng Kyai, 2015), hlm. 120.
[5] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i ..., hlm. 131.
[6] Abi Syuja’, Matan at-Taqrib ..., hlm. 112.
[7] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i ..., hlm. 131-132.
[8] Abu al-Walid Muhhamad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Libanon: Darul Fikr, 2008), hlm. 244
[9] Ibid., hlm. 238.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar