Representasi Nasionalisme Kiai dalam Film Sang Kiai
(Analisis Semiotik tentang Nasionalisme Kiai dalam Film
Sang Kiai Karya Rako Prijanto)
(Analisis Semiotik tentang Nasionalisme Kiai dalam Film
Sang Kiai Karya Rako Prijanto)
Abdul Aziz –NIM. 13210013
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam FDY UIN Sunan
Kalijaga
Abstrak
Menurut perspektif sebagian besar kelompok masyarakat, nasionalisme dan
agama adalah dua hal yang berbeda dan tidak ada kaitannya. Kiai dianggap
sebagai tokoh yang murni memperjuangkan agama bukan untuk negara. Namun dalam
film Sang Kiai, kiai direpresentasikan tidak hanya sebagai tokoh agama
melainkan juga sebagai tokoh yang turut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia di masanya. Sang Kiai adalah sebuah film drama Indonesia karya
Rako Prijanto yang mengangkat kisah perjuangan kemerdekaan dari salah satu
pendiri organisasi Nahdlatul Ulama yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis semiotika
untuk menganalisis sistem tanda dan makna. Teori yang digunakan adalah Teori Semiotika Roland Barthes dengan
menggunakan perangkat analisis
Signifikasi Dua Tahap dengan menentukan denotasi dan konotasi tanda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi nasionalisme kiai serta menjelaskan gagasan-gagasan dominan yang ingin disampaikan oleh film Sang Kiai yang berkaitan dengan persoalan nasionalisme. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Film Sang Kiai menrepresentasikan adanya sikap nasionalisme kiai yang ditunjukkan melalui tokoh utama. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan gagasan ilmiah mengenai nasionalisme kiai dalam memperjuangkan kemerdekaan di masa penjajahan Jepang dan pasca kemerdekaan, khususnya dalam media film berbasis nasionalisme.
Signifikasi Dua Tahap dengan menentukan denotasi dan konotasi tanda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi nasionalisme kiai serta menjelaskan gagasan-gagasan dominan yang ingin disampaikan oleh film Sang Kiai yang berkaitan dengan persoalan nasionalisme. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Film Sang Kiai menrepresentasikan adanya sikap nasionalisme kiai yang ditunjukkan melalui tokoh utama. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan gagasan ilmiah mengenai nasionalisme kiai dalam memperjuangkan kemerdekaan di masa penjajahan Jepang dan pasca kemerdekaan, khususnya dalam media film berbasis nasionalisme.
Kata Kunci: Kiai, Film, Representasi, Semiotika,
Nasionalisme.
A.
Latar Belakang Masalah
Film banyak
dipilih sebagai media untuk menampilakan kembali peristiwa sejarah. Dalam
menggabungkan citra, narasi, dan musik, film termasuk menciptakan representasi terhebat
yang pernah diciptakan oleh kecerdasan manusia.[1]
Sejarah yang direpresentasikan dalam sebuah film akan memiliki sudut pandang dan
tujuan yang berbeda-beda.
Dilatarbelakangi
sebuah harapan untuk mengangkat peran kaum agamis dalam sejarah Indonesia, Rapi
Films menghadirkan film Sang Kiai, sebuah film kolosal yang
mengangkat kisah perjuangan ulama kharismatik pesantren Tebuireng, Jombang,
Jawa Timur, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, yang juga menjadi tokoh kunci dalam
menggerakan santri-santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.[2] Film
garapan Rako Prijanto ini terpilih menjadi film bioskop terbaik Piala Citra
pada malam anugerah Festival Film Indonesia (FFI) 2013.
Tidak mudah menggambarkan
seorang tokoh yang tercatat dalam sejarah dan menyajikannya dalam sebuah film. Menyesuaikan
keadaan masa lalu dan masa kini adalah salah satu kesulitan yang dihadapi.
Kemudian kesesuaian dengan sejarah menjadi hal yang paling fatal apabila tidak
tercapai.
Tak hanya sekedar
mengangkat cerita mengenai KH. Hasyim Asy’ari, film yang dirilis tahun 2013 ini
juga mengangkat peran dan perjuangannya di era 1942 sampai 1947 lewat Resolusi
Jihadnya serta perjuangan orang-orang di sekitarnya. Digambarkan bahwa
perjuangan beliau lebih bersifat diplomatis sebagaimana perjuangan kaum
intelektual.
Sang Kiai memberikan representasi baru tentang kehidupan
kiai. Kiai digambarkan tidak hanya berjuang untuk agama saja, melainkan juga
berjuang untuk kemerdekaan negara. Sikap nasionalisme yang digambarkan ini
mencoba mendobrak persepsi-persepsi masyarakat tentang apatisme kiai terhadap
pemerintahan. Sebagian masyarakat menganggap bahwa agama dan negara adalah dua
hal yang saling bersinggungan. Padahal kontribusi agama dalam membangun negara
Indonesia sangat besar.
"Dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia peranan kaum agamis kurang terangkat,
sementara kaum ini memiliki andil yang sangat besar. Bahkan dasar negara
Pancasila dalam sila pertama menyebutkan Ketuhanan yang Maha Esa yang berarti
bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat agamis," ujar Rako Pijanto, sutradara sekaligus penggagas film Sang Kiai.[3]
Film ini
dianggap masih belum fokus pada penggambaran KH. Hasyim Asy’ari secara utuh.
Selain itu, penggambaran karakter tokoh-tokoh lain dalam film ini mengurangi
porsi dari tokoh utama itu sendiri. Berbeda dengan film Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo (2010), penggambarannya
terhadap kepribadian dan karakter KH. Ahmad Dahlan lebih fokus dan utuh
sepanjang alur film. Namun tetap saja bahwa kekuatan riset, visualisasi
semangat perjuangan kemerdekaan dan teknis sinematografis yang mumpuni dalam
film ini mampu menggambarkan realita sejarah dengan baik.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah dari penelitian yang berjudul Representasi Nasionalisme Kiai dalam Film
Sang Kiai ini adalah:
1. Bagaimana nasionalisme kiai direpresentasikan
dalam film Sang Kiai?
C. Kerangka Teori
1. Film
Film adalah salah satu media massa yang memiliki
kekuatan dan kemampuan untuk menjangkau banyak segmen sosial. Oleh karena itu,
para ahli menyebutkan bahwa film memiliki potensi untuk memengaruhi
khalayaknya. Sedangkan hubungan film dengan masyarakat selalu dipahami secara
linier. Artinya, film selalu memengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan
berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa pernah berlaku
sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini berdasarkan atas argumen
bahwa film adalah potret dari masyarakat di mana film itu dibuat. Film selalu
merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian
memproyeksikannya ke atas layar.[4]
Menurut Greame Turner, makna film sebagai
representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai
refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar “memindah”
realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai
representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas
berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya.[5]
2. Representasi
Representasi merujuk pada proses yang
dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra
atau kombinasinya.[6]
Representasi sulit untuk bisa menggambarkan realitas secara tepat. Oleh karena
itu, dikatakan bahwa setiap yang ditangkap oleh indra manusia bukanlah realitas
melainkan representasi.
3. Semiotika
Semiotika adalah sistem analisis tanda yang
diasosiasikan dengan C.S. Pierce yang memfokuskan pada atribut-atribut tanda
yang bersifat ikonik, indeksial, dan simbolik.[7] Sedangkan
tanda sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang terdiri pada sesuatu yang lain
atau menambah dimensi yang berbeda pada sesuatu, dengan memakai apa pun yang dapat
dipakai untuk mengartikan sesuatu hal yang lainnya.[8]
Secara umum dipandang bahwa tujuan analisis
semiotis adalah untuk menggali makna dari tanda-tanda. Aspek penting dari
kegiatan ini adalah mengenali bahwa makna bukanlah sesuatu yang yang dimiliki oleh
suatu tanda karena dirinya sendiri; melainkan, makna berasal dari
hubungan-hubungan, dari konteks di mana tanda yang dimaksud didapat atau dari
sistem mana tanda terletak. Ini artinya, tidak ada sesuatu yang punya arti
dalam dirinya sendiri. Suatu tanda yang diberikan (yang ada) dapat mempunyai
semua macam arti yang berbeda, tergantung pada sistem dari tanda atau dari
konteks di mana tanda itu teralokasi.[9]
4. Teori Semiotika
Roland Barthes
Roland Barthes adalah salah seorang pengikut
Ferdinand de Saussure, seorang ahli bahasa dari Swiss yang juga berjasa dalam
pengembangan analisis semiotik. Untuk menunjukkan tingkatan-tingkatan makna, Barthes
menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjuk tingkatan-tingkatan
makna. Makna denotasi adalah makna tingkat pertama (first order) yang
bersifat objektif yang dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni dengan
mengaitkan secara langsung antara lambang dengan realitas atau gejala yang
ditunjuk. Kemudian makna konotasi adalah makna-makna yang dapat diberikan pada
lambang-lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya yang karenanya berada
pada tingkatan kedua (second order).[10]
Roland Barthes membuat model sistematis dalam
menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes tertuju kepada
gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification)
seperti gambar:
Sumber: Alex Sobur, Analisis Teks Media:
Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing,
2006, hlm. 127.
Tanda dalam konteks manusia dibedakan menjadi dua, yaitu signifier dan
signified. Signifier (penanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau
dibaca. Signified (pertanda) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep
aspek mental dari bahasa.[11]
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja
melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau
memahami berbagai aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan
produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi.[12]
Dalam menganalisis sebuah novel berjudul Sarrasine, Barthes
mengemukakan lima macam kode sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode-kode
narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis.[13]
Lima kode yang tersebut adalah:
1. Kode
hermeneutik atau kode teka-teki, berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan
“kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul pada teks.
2. Kode semik atau kode konotatif, berupa konotasi kata atau
frase yang digunakan pembaca untuk memahami suatu tema dalam cerita.
3. Kode simbolik, merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling
khas dan bersifat struktural atau lebih tepatnya pascastruktural.
4. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan, dianggap sebagai
perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain semua teks yang
bersifat naratif.
5. Kode gnomik atau kode kultural, merupakan acuan teks ke
benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.[14]
Kelima kode yang diterapkan dalam novel tersebut juga dapat digunakan untuk
menguraikan narasi dalam sebuah film. Penulis akan menerapkannya dalam
menganilisa representasi nasionalisme kiai dalam film Sang Kiai.
5. Nasionalisme
Nasionalisme adalah sebuah faham yang
berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada
negara-kebangsaan. Nasionalisme memiliki peranan kuat dalam membentuk semua
segi kehidupan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat pribadi.[15]
Faham ini muncul di berbagai negara karena adanya perasaan akan ikatan erat
dengan tanah air, dengan tradisi-tradisi, para penguasa serta latar belakang
sejarah yang sama. Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sendiri, nasionalisme
menjadi faham yang mendorong masyarakat untuk menuntut terwujudnya kemerdekaan.
D. Metodologi
Penelitian
1. Metode
Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalaha pendekatan kualitatif. Sementara jenis penelitian yang dipakai adalah
penelitian eksploratif, dimana peneliti akan menggali lebih dalam permasalahan
yang akan diteliti, yakni representasi nasionalisme kiai dalam film Sang
Kiai.
2. Subjek dan
Objek Penelitian
Subjek dari penelitian film ini adalah tokoh
utama dalam film Sang Kiai, yaitu tokoh KH. Hasyim Asy’ari yang
diperankan oleh Ikranagara. Adapun yang menjadi objek dari penelitian ini
adalah film Sang Kiai yang akan dianalisis secara tekstual.
3. Kerangka
Analisis
Dalam penelitian ini, unit analisis yang
dipergunakan adalah unsur-unsur representasi film. Rangkaian tanda dalam bentuk
gambar bergerak dalam film menciptakan sebuah sistem imaji dan sistem
penandaan. Beberapa aspek akan dipehatikan dalam menguraikan representasi film,
seperti aktor, kostum, lanskap, dan gerak isyarat.
4. Kerangka Konsep
Kerangka konsep yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan model analisis Roland Barthes, yaitu
signifikasi dua tahap (two orders of signification).
5. Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Studi Observasi
b. Studi Kepustakaan
6. Teknik Analsis
Data
Adapun teknik analisis data yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
Diseleksi
b.
Diklasifikasi
c.
Dianalisis dan diinterpretasikan
d.
Ditarik kesimpulan
E. Hasil dan Pembahasan
1. Analisis Data
a. Analisis Adegan
I
1) Analisis Kode Leksia
a)
KH. Hasyim Asy’ari terlihat sempoyongan ketika bangun seusai
salat.
b)
Terlihat istrinya, Masrurah, kaget melihat keadaan KH.
Hasyim Asy’ari.
c)
Pada gambar ketiga Masrurah menuntun KH. Hasyim Asy’ari
yang terlihat tidak sanggup berjalan.
d)
Kemudian pada gambar ketiga KH. Hasyim Asy’ari duduk
menenangkan diri.
e)
Pada gambar terakhir ekspresi KH. Hasyim Asy’ari yang
terlihat bersedih dan saat itu berbincang-bincang dengan Masrurah tentang
kekhawatirannya akan perang sementara beliau tidak bisa ikut berperang.
2) Kode Hermeneutika
a)
Mengapa KH. Hasyim Asy’ari sempoyongan ketika bangun?
b)
Mengapa KH. Hasyim Asy’ari terlihat sangat lemas?
c)
Mengapa ekspresi KH. Hasyim Asy’ari saat itu terlihat
sedih?
3) Kode Semik
Pada pengambilan gambar di atas lebih
menunjukkan keadaan KH. Hasyim Asy’ari yang tidak fit. Pada gambar ketiga dan
keempat ekspresi wajah KH. Hasyim Asy’ari lebih dominan ditunjukkan, yakni ekspresi
sedih.
4) Kode Simbolik
Bila diperhatikan adegan ini lebih dominan
menggambarkan keadaan KH. Hasyim Asy’ari yang tidak fit. Keadaan tersebut bukan
karena penyakit yang diderita oleh beliau karena tidak ada penjelasan mengenai
penyakit yang diderita beliau. Akan tetapi keadaan KH. Hasyim Asy’ari ini lebih
meggambarakan kelelahan pikiran beliau karena terlalu berfikir keras.
5) Kode Proairetik
Pada gambar pertama dan kedua terlihat
Masrurah sangat mencemaskan keadaan KH. Hasyim Asy’ari. Sementara gambar ketiga
dan keempat terlihat KH. Hasyim Asy’ari tidak memperhatikan Masrurah ketika
berbincang-bincang karena memikirkan hal yang lebih beliau cemaskan, yakni
tentang perang keesokan harinya.
6) Kode Gnomik
Ketika orang berbincang-bincang dengan orang
lain sementara keduanya tidak saling menatap, maka ada hal yang lebih dipikiran
oleh mereka. Terlebih jika hubungan keduanya sudah intim, maka apa yang
dipikirkan tersebut sangatlah menjadi beban. Sesuai dialog antara KH. Hasyim
Asy’ari dan Masrurah, maka yang dipikirkan oleh KH. Hasyim Asy’ari adalah
tentang perang melawan sekutu sementara beliau sendir tidak bisa ikut. Ini
menggambarkan adanya nasionalisme yang kuat di hati KH. Hasyim Asy’ari.
b. Analisis Adegan
II
Gambar adegan 4.2: sequence 8, scene 2, shot 2, 5, 6 dan 7.
1)
Analisis Kode Leksia
a)
Pada gambar KH. Hasyim Asy’ari terlihat berwajah sedih
ketika berbicara dengan Yusuf Hasyim memintanya untuk mengajari beliau menembak
jika suatu saat melawan tentara Belanda.
b)
Terlihat KH. Hasyim Asy’ari memegang pistol dengan
bimbingan Yusuf Hasyim.
c)
Pistol tersebut diarahkan seakan-akan untuk mengincar
musuh yang akan ditembak.
d)
KH. Hasyim Asy’ari terlihat sangat serius ketika
mengarahkan pistolnya seperti akan menembak dengan sungguh-sungguh.
e)
Pada gambar terakhir Yusuf ditampilkan sedang memerhatikan
dengan seksama raut wajah ayahnya tersebut.
2)
Kode Hermeneutika
a)
Mengapa raut wajah KH. Hasyim Asy’ari terlihat sedih pada
awalnya?
b)
Mengapa KH. Hasyim Asy’ari bersikeras untu diajari
menembak?
c)
Mengapa raut wajah KH. Hasyim Asy’ari menjadi serius
ketika mengarahkan pistol?
d)
Mengapa Yusuf Hasyim memerhatikan ekspresi wajah KH.
Hasyim Asy’ari dengan seksama?
3)
Kode Semik
Pada gambar pertama pengambilan gambar KH.
Hasyim Asy’ari diambil dengan jarak kamera medium close-up dimana kita bisa
melihat sutradara ingin menonjolkan ekspresi wajah KH. Hasyim Asy’ari yang
tertarik pada suatu terlihat sedih. Pada gambar kedua, gambar diambil adri sisi
samping untuk menunjukkan KH. Hasyim Asy’ari memegang pistol dengan tuntunan
Yusuf Hasyim. Pada gambar ketika ditampilkan ekspresi keseriusan KH. Hasyim
Asy’ari dengan jarak medium close-up. Gambar terakhir sutradara ke ekspresi
Yusuf Hasyim yang seksama memperhatikan raut wajah KH. Hasyim Asy’ari.
4)
Kode Simbolik
Pada adegan ini yang ditonjolkan adalah ketika
KH. Hasyim Asy’ari belajar menggunakan pistol. Pistol merupakan senjata yang
melambangkan perlawanan kepada para musuh.
5)
Kode Proairetik
Pada gambar ketiga kita bisa melihat KH.
Hasyim Asy’ari yang mengarahkan pistolnya seakan-akan akan menembak musuh,
yakni para penjajah. Kemudian perhatian Yusuf Hasyim beralih pada ekspresi
beliau saat itu.
6)
Kode Gnomik
Kesungguhan seseorang untuk membela tanah air
terlihat ketika orang tersebut berani melawan segala ancaman yang datang. Jika
ancaman itu berujung pada peperangan maka keberanian tersebut dapat dibuktikan
dengan mangangkat senjata. Ketika orang berani mengangkat senjata untuk
mempertahankan tanah air, meski kemungkinannya adalah mati, maka ia terbukti
telah mewujudkan kesetiaannya kepada negara.
2. Analisis
Keseluruhan
Kiai merupakan pemuka agama yang paling
dihormati dalam struktur masyarakat tradisional khas pesantren. Sebagai ulama
atau orang yang memiliki ilmu tinggi dalam ilmu agama, kiai memiliki tugas
untuk menyebarkan ilmu ke-Islamannya kepada masyarakat. Berbagai macam
penghormatan dan pengistimewaan diterima kiai. Namun, masyarakat secara umum
salah memahaminya. Menurut pandangan mereka, kiai hanya bertugas mengajar
ataupun hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan. Wilayahnya pun hanya sebatas
pesantren ataupun lembaga pendidikan lain. Padahal, kiai juga memiliki pengaruh
yang besar jika terjun dalam politik dan kenegaraan.
Kenyataannya, mayoritas kiai terutama pada
masa penjajahan serta masa perjuangan kemerdekaan memiliki nasionalisme yang
tinggi. Tentu saja ini juga karena dalam Islam terdapat ajaran untuk membela
tanah air. Hubbul wathan minal iman, artinya cinta tanah air termasuk
sebagian dari iman. Inilah yang sering diajarkan kepada para santri ketika
membahas tentang tanah air. Hal ini yang coba dituangkan oleh Rako Prijanto ke
dalam filmnya.
Beberapa adegan menampilkan KH. Hasyim Asy’ari
tampak serius dan kelelahan ketika datang kabar buruk dari Jepang. Namun beliau
tetap memaksakan diri di usianya yang sudah senja itu. Ini menggambarkan betapa
kuatnya rasa nasionalisme di hati KH. Hasyim Asy’ari.
Rasa nasionalismenya tersebut diwujudkan melalui
perjuangannya dengan jalan diplomasi. Sampai pada akhirnya, beliau mencetuskan
resolusi jihad yang
membuat barisan santri dan massa penduduk Surabaya bergabung untuk melawan sekutu. Ini adalah
wujud rasa kepedulian KH. Hasyim Asy’ari terhadap nasionalisme bangsa.
Film Sang Kiai menjadi cerminan adanya
sikap nasionalisme di kalangan para kiai di masa perjuangan kemerdekaan. Nasionalisme
menjadi faham yang sangat penting bagi kelanjutan perjuangan kemerdekaan.
Digambarkan juga KH. Hasyim Asy’ari yang menumbuhkan jiwa nasionalisme seorang
karakter dalam yang awalnya ikut membantu Jepang sebagai juru bicara dan
kemudian menjadi pengikut beliau. Memang tidak semua masyarakat Indonesia pada
saat memusuhi penjajah, ada yang menjadi pembantu mereka untuk mendapat hidup
yang sejahtera. Ini adalah sebagian kecil nasionalisme yang digambarkan dalam
film ini.
F. Kesimpulan dan
Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
a. Sutradara menampilkan dengan jelas sikap nasionalisme
yang para kiai. Gambaran tersebut diwakilkan kepada tokoh utama KH. Hasyim
Asy’ari yang ditampilkan sebagai kiai dan juga tokoh perjuangan kemerdekaan.
b. Sistem tanda digambarkan dengan jelas melalui
karakter dan gerak isyarat yang digambarkan dalam film. Karakter dan gerak
isyarat menampilkan unsur-unsur nasionalisme yang bisa dianalisa secara
denotasi maupun konotasi.
2. Saran
Beberapa saran yang ingin disampaikan penulis
adalah:
a. Masyarakat harus memperluas pandangan mereka
tentang peran kiai. Kiai memiliki juga potensi yang besar dalam memajukan
bangsa dan negara.
b. Masyarakat tidak boleh melupakan sejarah
bangsa Indonesia. Semestinya pengetahuan tentang sejarah ini harus ditanamkan
sejak dini kepada anak-anak dengan baik. Banyak sekarang anak bangsa yang lebih
faham dan hafal tentang cerita fiksi hiburan yang disajikan media massa
daripada tentang sejarah bangsa Indonesia, lebih-lebih tokoh perjuangan.
c. Masyarakat juga harus memberikan apresiasi
yang besar terhadap para tokoh pejuang kemerdekaan. Realitanya sampai saat ini
masih para pejuang yang masih hidup pun belum mendapat taraf hidup yang setara
dengan hasil kerja keras mereka. Padahal tanpa mereka belum tentu Negara
Indonesia bisa merdeka dan damai seperti ini.
Daftar Pustaka
Berger, Arthur Asa. 2010. Pengantar
Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami
Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.
Fiske, John. 2007. Cultural and
Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta:
Jalasutra.
Ikranagara. 'SANG KIAI', Kisah Perjuangan
Untuk Agama Dan Bangsa. (www.kapanlagi.com/showbiz/film/indonesia/sang-kiai-kisah-perjuangan-untuk-agama-dan-bangsa-356977.html). Tanggal akses terakhir 4 April 2014.
Kohn, Hans. Nasionalisme: Arti dan
Sejarahnya. Jakarta: Pembangunan.
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi
Kualitatif. Yogyakarta: LkiS.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media:
Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
[2] Ikranagara, 'SANG
KIAI', Kisah Perjuangan Untuk Agama Dan Bangsa, (http://www.kapanlagi.com/showbiz/film/indonesia/sang-kiai-kisah-perjuangan-untuk-agama-dan-bangsa-356977.html
), diakses tanggal 4 April 2014, 01:32 WIB.
[6] John Fiske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 282.
[7] Arthur Asa Berger, Pengantar
Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara
Wacana. 2010), hlm. 246.
[11] Alex Sobur, Analisis
Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan
Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 125.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar