Senin, 04 Mei 2015

Representasi Nasionalisme Kiai dalam Film Sang Kiai

Representasi Nasionalisme Kiai dalam Film Sang Kiai
(Analisis Semiotik tentang Nasionalisme Kiai dalam Film
Sang Kiai Karya Rako Prijanto)
Abdul Aziz –NIM. 13210013
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam FDY UIN Sunan Kalijaga

Abstrak
Menurut perspektif sebagian besar kelompok masyarakat, nasionalisme dan agama adalah dua hal yang berbeda dan tidak ada kaitannya. Kiai dianggap sebagai tokoh yang murni memperjuangkan agama bukan untuk negara. Namun dalam film Sang Kiai, kiai direpresentasikan tidak hanya sebagai tokoh agama melainkan juga sebagai tokoh yang turut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di masanya. Sang Kiai adalah sebuah film drama Indonesia karya Rako Prijanto yang mengangkat kisah perjuangan kemerdekaan dari salah satu pendiri organisasi Nahdlatul Ulama yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis semiotika untuk menganalisis sistem tanda dan makna. Teori yang digunakan adalah Teori Semiotika Roland Barthes dengan menggunakan perangkat analisis
Signifikasi Dua Tahap dengan menentukan denotasi dan konotasi tanda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi nasionalisme kiai serta menjelaskan gagasan-gagasan dominan yang ingin disampaikan oleh film Sang Kiai yang berkaitan dengan persoalan nasionalisme. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Film Sang Kiai menrepresentasikan adanya sikap nasionalisme kiai yang ditunjukkan melalui tokoh utama. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan gagasan ilmiah mengenai nasionalisme kiai dalam memperjuangkan kemerdekaan di masa penjajahan Jepang dan pasca kemerdekaan, khususnya dalam media film berbasis nasionalisme.

Kata Kunci: Kiai, Film, Representasi, Semiotika, Nasionalisme.





A.   Latar Belakang Masalah
Film banyak dipilih sebagai media untuk menampilakan kembali peristiwa sejarah. Dalam menggabungkan citra, narasi, dan musik, film termasuk menciptakan representasi terhebat yang pernah diciptakan oleh kecerdasan manusia.[1] Sejarah yang direpresentasikan dalam sebuah film akan memiliki sudut pandang dan tujuan yang berbeda-beda.
Dilatarbelakangi sebuah harapan untuk mengangkat peran kaum agamis dalam sejarah Indonesia, Rapi Films menghadirkan film Sang Kiai, sebuah film kolosal yang mengangkat kisah perjuangan ulama kharismatik pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, yang juga menjadi tokoh kunci dalam menggerakan santri-santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.[2] Film garapan Rako Prijanto ini terpilih menjadi film bioskop terbaik Piala Citra pada malam anugerah Festival Film Indonesia (FFI) 2013.
Tidak mudah menggambarkan seorang tokoh yang tercatat dalam sejarah dan menyajikannya dalam sebuah film. Menyesuaikan keadaan masa lalu dan masa kini adalah salah satu kesulitan yang dihadapi. Kemudian kesesuaian dengan sejarah menjadi hal yang paling fatal apabila tidak tercapai.
Tak hanya sekedar mengangkat cerita mengenai KH. Hasyim Asy’ari, film yang dirilis tahun 2013 ini juga mengangkat peran dan perjuangannya di era 1942 sampai 1947 lewat Resolusi Jihadnya serta perjuangan orang-orang di sekitarnya. Digambarkan bahwa perjuangan beliau lebih bersifat diplomatis sebagaimana perjuangan kaum intelektual.
Sang Kiai memberikan representasi baru tentang kehidupan kiai. Kiai digambarkan tidak hanya berjuang untuk agama saja, melainkan juga berjuang untuk kemerdekaan negara. Sikap nasionalisme yang digambarkan ini mencoba mendobrak persepsi-persepsi masyarakat tentang apatisme kiai terhadap pemerintahan. Sebagian masyarakat menganggap bahwa agama dan negara adalah dua hal yang saling bersinggungan. Padahal kontribusi agama dalam membangun negara Indonesia sangat besar.
"Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia peranan kaum agamis kurang terangkat, sementara kaum ini memiliki andil yang sangat besar. Bahkan dasar negara Pancasila dalam sila pertama menyebutkan Ketuhanan yang Maha Esa yang berarti bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat agamis," ujar Rako Pijanto, sutradara sekaligus penggagas film Sang Kiai.[3]
Film ini dianggap masih belum fokus pada penggambaran KH. Hasyim Asy’ari secara utuh. Selain itu, penggambaran karakter tokoh-tokoh lain dalam film ini mengurangi porsi dari tokoh utama itu sendiri. Berbeda dengan film Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo (2010), penggambarannya terhadap kepribadian dan karakter KH. Ahmad Dahlan lebih fokus dan utuh sepanjang alur film. Namun tetap saja bahwa kekuatan riset, visualisasi semangat perjuangan kemerdekaan dan teknis sinematografis yang mumpuni dalam film ini mampu menggambarkan realita sejarah dengan baik.
B.   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian yang berjudul Representasi Nasionalisme Kiai dalam Film Sang Kiai ini adalah:
1.      Bagaimana nasionalisme kiai direpresentasikan dalam film Sang Kiai?
C.   Kerangka Teori
1.     Film
Film adalah salah satu media massa yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menjangkau banyak segmen sosial. Oleh karena itu, para ahli menyebutkan bahwa film memiliki potensi untuk memengaruhi khalayaknya. Sedangkan hubungan film dengan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu memengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini berdasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat di mana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar.[4]
Menurut Greame Turner, makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar “memindah” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya.[5]
2.     Representasi
Representasi merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya.[6] Representasi sulit untuk bisa menggambarkan realitas secara tepat. Oleh karena itu, dikatakan bahwa setiap yang ditangkap oleh indra manusia bukanlah realitas melainkan representasi.
3.     Semiotika
Semiotika adalah sistem analisis tanda yang diasosiasikan dengan C.S. Pierce yang memfokuskan pada atribut-atribut tanda yang bersifat ikonik, indeksial, dan simbolik.[7] Sedangkan tanda sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang terdiri pada sesuatu yang lain atau menambah dimensi yang berbeda pada sesuatu, dengan memakai apa pun yang dapat dipakai untuk mengartikan sesuatu hal yang lainnya.[8]
Secara umum dipandang bahwa tujuan analisis semiotis adalah untuk menggali makna dari tanda-tanda. Aspek penting dari kegiatan ini adalah mengenali bahwa makna bukanlah sesuatu yang yang dimiliki oleh suatu tanda karena dirinya sendiri; melainkan, makna berasal dari hubungan-hubungan, dari konteks di mana tanda yang dimaksud didapat atau dari sistem mana tanda terletak. Ini artinya, tidak ada sesuatu yang punya arti dalam dirinya sendiri. Suatu tanda yang diberikan (yang ada) dapat mempunyai semua macam arti yang berbeda, tergantung pada sistem dari tanda atau dari konteks di mana tanda itu teralokasi.[9]
4.     Teori Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes adalah salah seorang pengikut Ferdinand de Saussure, seorang ahli bahasa dari Swiss yang juga berjasa dalam pengembangan analisis semiotik. Untuk menunjukkan tingkatan-tingkatan makna, Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjuk tingkatan-tingkatan makna. Makna denotasi adalah makna tingkat pertama (first order) yang bersifat objektif yang dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni dengan mengaitkan secara langsung antara lambang dengan realitas atau gejala yang ditunjuk. Kemudian makna konotasi adalah makna-makna yang dapat diberikan pada lambang-lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya yang karenanya berada pada tingkatan kedua (second order).[10]
Roland Barthes membuat model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti gambar:
Sumber: Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, 2006, hlm. 127.
Tanda dalam konteks manusia dibedakan menjadi dua, yaitu signifier dan signified. Signifier (penanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified (pertanda) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa.[11]
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami berbagai aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi.[12]
Dalam menganalisis sebuah novel berjudul Sarrasine, Barthes mengemukakan lima macam kode sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis.[13] Lima kode yang tersebut adalah:
1.      Kode hermeneutik atau kode teka-teki, berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul pada teks.
2.      Kode semik atau kode konotatif, berupa konotasi kata atau frase yang digunakan pembaca untuk memahami suatu tema dalam cerita.
3.      Kode simbolik, merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas dan bersifat struktural atau lebih tepatnya pascastruktural.
4.      Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan, dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain semua teks yang bersifat naratif.
5.      Kode gnomik atau kode kultural, merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.[14]
Kelima kode yang diterapkan dalam novel tersebut juga dapat digunakan untuk menguraikan narasi dalam sebuah film. Penulis akan menerapkannya dalam menganilisa representasi nasionalisme kiai dalam film Sang Kiai. 
5.     Nasionalisme
Nasionalisme adalah sebuah faham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara-kebangsaan. Nasionalisme memiliki peranan kuat dalam membentuk semua segi kehidupan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat pribadi.[15] Faham ini muncul di berbagai negara karena adanya perasaan akan ikatan erat dengan tanah air, dengan tradisi-tradisi, para penguasa serta latar belakang sejarah yang sama. Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sendiri, nasionalisme menjadi faham yang mendorong masyarakat untuk menuntut terwujudnya kemerdekaan.
D.   Metodologi Penelitian
1.     Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalaha pendekatan kualitatif. Sementara jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian eksploratif, dimana peneliti akan menggali lebih dalam permasalahan yang akan diteliti, yakni representasi nasionalisme kiai dalam film Sang Kiai.
2.     Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian film ini adalah tokoh utama dalam film Sang Kiai, yaitu tokoh KH. Hasyim Asy’ari yang diperankan oleh Ikranagara. Adapun yang menjadi objek dari penelitian ini adalah film Sang Kiai yang akan dianalisis secara tekstual.
3.     Kerangka Analisis
Dalam penelitian ini, unit analisis yang dipergunakan adalah unsur-unsur representasi film. Rangkaian tanda dalam bentuk gambar bergerak dalam film menciptakan sebuah sistem imaji dan sistem penandaan. Beberapa aspek akan dipehatikan dalam menguraikan representasi film, seperti aktor, kostum, lanskap, dan gerak isyarat.
4.     Kerangka Konsep
Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model analisis Roland Barthes, yaitu signifikasi dua tahap (two orders of signification).
5.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Studi Observasi
b.      Studi Kepustakaan
6.    Teknik Analsis Data
Adapun teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.       Diseleksi
b.      Diklasifikasi
c.       Dianalisis dan diinterpretasikan
d.      Ditarik kesimpulan
E.   Hasil dan Pembahasan
1.     Analisis Data
a.      Analisis Adegan I
    Gambar adegan 5.1: sequence 6, scene 3, shot 2, 3, 4 dan 7.
1)      Analisis Kode Leksia
a)      KH. Hasyim Asy’ari terlihat sempoyongan ketika bangun seusai salat.
b)      Terlihat istrinya, Masrurah, kaget melihat keadaan KH. Hasyim Asy’ari.
c)      Pada gambar ketiga Masrurah menuntun KH. Hasyim Asy’ari yang terlihat tidak sanggup berjalan.
d)     Kemudian pada gambar ketiga KH. Hasyim Asy’ari duduk menenangkan diri.
e)      Pada gambar terakhir ekspresi KH. Hasyim Asy’ari yang terlihat bersedih dan saat itu berbincang-bincang dengan Masrurah tentang kekhawatirannya akan perang sementara beliau tidak bisa ikut berperang.
2)      Kode Hermeneutika
a)      Mengapa KH. Hasyim Asy’ari sempoyongan ketika bangun?
b)      Mengapa KH. Hasyim Asy’ari terlihat sangat lemas?
c)      Mengapa ekspresi KH. Hasyim Asy’ari saat itu terlihat sedih?
3)      Kode Semik
Pada pengambilan gambar di atas lebih menunjukkan keadaan KH. Hasyim Asy’ari yang tidak fit. Pada gambar ketiga dan keempat ekspresi wajah KH. Hasyim Asy’ari lebih dominan ditunjukkan, yakni ekspresi sedih.
4)      Kode Simbolik
Bila diperhatikan adegan ini lebih dominan menggambarkan keadaan KH. Hasyim Asy’ari yang tidak fit. Keadaan tersebut bukan karena penyakit yang diderita oleh beliau karena tidak ada penjelasan mengenai penyakit yang diderita beliau. Akan tetapi keadaan KH. Hasyim Asy’ari ini lebih meggambarakan kelelahan pikiran beliau karena terlalu berfikir keras.
5)      Kode Proairetik
Pada gambar pertama dan kedua terlihat Masrurah sangat mencemaskan keadaan KH. Hasyim Asy’ari. Sementara gambar ketiga dan keempat terlihat KH. Hasyim Asy’ari tidak memperhatikan Masrurah ketika berbincang-bincang karena memikirkan hal yang lebih beliau cemaskan, yakni tentang perang keesokan harinya.
6)      Kode Gnomik
Ketika orang berbincang-bincang dengan orang lain sementara keduanya tidak saling menatap, maka ada hal yang lebih dipikiran oleh mereka. Terlebih jika hubungan keduanya sudah intim, maka apa yang dipikirkan tersebut sangatlah menjadi beban. Sesuai dialog antara KH. Hasyim Asy’ari dan Masrurah, maka yang dipikirkan oleh KH. Hasyim Asy’ari adalah tentang perang melawan sekutu sementara beliau sendir tidak bisa ikut. Ini menggambarkan adanya nasionalisme yang kuat di hati KH. Hasyim Asy’ari.
b.      Analisis Adegan II
   
Gambar adegan 4.2: sequence 8, scene 2, shot 2, 5, 6 dan 7.
1)      Analisis Kode Leksia
a)      Pada gambar KH. Hasyim Asy’ari terlihat berwajah sedih ketika berbicara dengan Yusuf Hasyim memintanya untuk mengajari beliau menembak jika suatu saat melawan tentara Belanda.
b)      Terlihat KH. Hasyim Asy’ari memegang pistol dengan bimbingan Yusuf Hasyim.
c)      Pistol tersebut diarahkan seakan-akan untuk mengincar musuh yang akan ditembak.
d)     KH. Hasyim Asy’ari terlihat sangat serius ketika mengarahkan pistolnya seperti akan menembak dengan sungguh-sungguh.
e)      Pada gambar terakhir Yusuf ditampilkan sedang memerhatikan dengan seksama raut wajah ayahnya tersebut.
2)      Kode Hermeneutika
a)      Mengapa raut wajah KH. Hasyim Asy’ari terlihat sedih pada awalnya?
b)      Mengapa KH. Hasyim Asy’ari bersikeras untu diajari menembak?
c)      Mengapa raut wajah KH. Hasyim Asy’ari menjadi serius ketika mengarahkan pistol?
d)     Mengapa Yusuf Hasyim memerhatikan ekspresi wajah KH. Hasyim Asy’ari dengan seksama?
3)      Kode Semik
Pada gambar pertama pengambilan gambar KH. Hasyim Asy’ari diambil dengan jarak kamera medium close-up dimana kita bisa melihat sutradara ingin menonjolkan ekspresi wajah KH. Hasyim Asy’ari yang tertarik pada suatu terlihat sedih. Pada gambar kedua, gambar diambil adri sisi samping untuk menunjukkan KH. Hasyim Asy’ari memegang pistol dengan tuntunan Yusuf Hasyim. Pada gambar ketika ditampilkan ekspresi keseriusan KH. Hasyim Asy’ari dengan jarak medium close-up. Gambar terakhir sutradara ke ekspresi Yusuf Hasyim yang seksama memperhatikan raut wajah KH. Hasyim Asy’ari.
4)      Kode Simbolik
Pada adegan ini yang ditonjolkan adalah ketika KH. Hasyim Asy’ari belajar menggunakan pistol. Pistol merupakan senjata yang melambangkan perlawanan kepada para musuh.
5)      Kode Proairetik
Pada gambar ketiga kita bisa melihat KH. Hasyim Asy’ari yang mengarahkan pistolnya seakan-akan akan menembak musuh, yakni para penjajah. Kemudian perhatian Yusuf Hasyim beralih pada ekspresi beliau saat itu.
6)      Kode Gnomik
Kesungguhan seseorang untuk membela tanah air terlihat ketika orang tersebut berani melawan segala ancaman yang datang. Jika ancaman itu berujung pada peperangan maka keberanian tersebut dapat dibuktikan dengan mangangkat senjata. Ketika orang berani mengangkat senjata untuk mempertahankan tanah air, meski kemungkinannya adalah mati, maka ia terbukti telah mewujudkan kesetiaannya kepada negara.
2.     Analisis Keseluruhan
Kiai merupakan pemuka agama yang paling dihormati dalam struktur masyarakat tradisional khas pesantren. Sebagai ulama atau orang yang memiliki ilmu tinggi dalam ilmu agama, kiai memiliki tugas untuk menyebarkan ilmu ke-Islamannya kepada masyarakat. Berbagai macam penghormatan dan pengistimewaan diterima kiai. Namun, masyarakat secara umum salah memahaminya. Menurut pandangan mereka, kiai hanya bertugas mengajar ataupun hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan. Wilayahnya pun hanya sebatas pesantren ataupun lembaga pendidikan lain. Padahal, kiai juga memiliki pengaruh yang besar jika terjun dalam politik dan kenegaraan.
Kenyataannya, mayoritas kiai terutama pada masa penjajahan serta masa perjuangan kemerdekaan memiliki nasionalisme yang tinggi. Tentu saja ini juga karena dalam Islam terdapat ajaran untuk membela tanah air. Hubbul wathan minal iman, artinya cinta tanah air termasuk sebagian dari iman. Inilah yang sering diajarkan kepada para santri ketika membahas tentang tanah air. Hal ini yang coba dituangkan oleh Rako Prijanto ke dalam filmnya.
Beberapa adegan menampilkan KH. Hasyim Asy’ari tampak serius dan kelelahan ketika datang kabar buruk dari Jepang. Namun beliau tetap memaksakan diri di usianya yang sudah senja itu. Ini menggambarkan betapa kuatnya rasa nasionalisme di hati KH. Hasyim Asy’ari.
Rasa nasionalismenya tersebut diwujudkan melalui perjuangannya dengan jalan diplomasi. Sampai pada akhirnya, beliau mencetuskan resolusi jihad yang membuat barisan santri dan massa penduduk Surabaya bergabung untuk melawan sekutu. Ini adalah wujud rasa kepedulian KH. Hasyim Asy’ari terhadap nasionalisme bangsa.
Film Sang Kiai menjadi cerminan adanya sikap nasionalisme di kalangan para kiai di masa perjuangan kemerdekaan. Nasionalisme menjadi faham yang sangat penting bagi kelanjutan perjuangan kemerdekaan. Digambarkan juga KH. Hasyim Asy’ari yang menumbuhkan jiwa nasionalisme seorang karakter dalam yang awalnya ikut membantu Jepang sebagai juru bicara dan kemudian menjadi pengikut beliau. Memang tidak semua masyarakat Indonesia pada saat memusuhi penjajah, ada yang menjadi pembantu mereka untuk mendapat hidup yang sejahtera. Ini adalah sebagian kecil nasionalisme yang digambarkan dalam film ini.
F.    Kesimpulan dan Saran
1.     Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a.       Sutradara menampilkan dengan jelas sikap nasionalisme yang para kiai. Gambaran tersebut diwakilkan kepada tokoh utama KH. Hasyim Asy’ari yang ditampilkan sebagai kiai dan juga tokoh perjuangan kemerdekaan.
b.      Sistem tanda digambarkan dengan jelas melalui karakter dan gerak isyarat yang digambarkan dalam film. Karakter dan gerak isyarat menampilkan unsur-unsur nasionalisme yang bisa dianalisa secara denotasi maupun konotasi.
2.     Saran
Beberapa saran yang ingin disampaikan penulis adalah:
a.       Masyarakat harus memperluas pandangan mereka tentang peran kiai. Kiai memiliki juga potensi yang besar dalam memajukan bangsa dan negara.
b.      Masyarakat tidak boleh melupakan sejarah bangsa Indonesia. Semestinya pengetahuan tentang sejarah ini harus ditanamkan sejak dini kepada anak-anak dengan baik. Banyak sekarang anak bangsa yang lebih faham dan hafal tentang cerita fiksi hiburan yang disajikan media massa daripada tentang sejarah bangsa Indonesia, lebih-lebih tokoh perjuangan.
c.       Masyarakat juga harus memberikan apresiasi yang besar terhadap para tokoh pejuang kemerdekaan. Realitanya sampai saat ini masih para pejuang yang masih hidup pun belum mendapat taraf hidup yang setara dengan hasil kerja keras mereka. Padahal tanpa mereka belum tentu Negara Indonesia bisa merdeka dan damai seperti ini.



Daftar Pustaka
Berger, Arthur Asa. 2010. Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.
Fiske, John. 2007. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Ikranagara. 'SANG KIAI', Kisah Perjuangan Untuk Agama Dan Bangsa. (www.kapanlagi.com/showbiz/film/indonesia/sang-kiai-kisah-perjuangan-untuk-agama-dan-bangsa-356977.html). Tanggal akses terakhir 4 April 2014.
Kohn, Hans. Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Pembangunan.
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.




[1] Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm. 136
[2] Ikranagara, 'SANG KIAI', Kisah Perjuangan Untuk Agama Dan Bangsa, (http://www.kapanlagi.com/showbiz/film/indonesia/sang-kiai-kisah-perjuangan-untuk-agama-dan-bangsa-356977.html ), diakses tanggal 4 April 2014, 01:32 WIB.
[3] Ikranagara, 'SANG KIAI',... diakses tanggal 4 April 2014, 01:32 WIB.
[4] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 127.
[5] Ibid., hlm. 127-128.
[6] John Fiske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 282.
[7] Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana. 2010), hlm. 246.
[8] Ibid., hlm. 1.
[9] Ibid., hlm. 245.
[10] Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LkiS, 2007). hlm. 164.
[11] Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 125.
[12] Ibid., hlm. 128.
[13] Alex Sobur, Semiotika..., hlm. 65.
[14] Ibid., hlm. 65-66.
[15] Hans Kohn, Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya, (Jakarta: Pembangunan, 1961), hlm. 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar