Ketika Tuhan Menegurku
Jum’at, 21 Februari 2014, seperti biasa aku harus masuk
kuliah jam 07.00 WIB. Karena masih ada dampak hujan abu seminggu yang lalu,
kampusku, UIN Sunan Kalijaga mengadakan kerja bakti hari ini. Otomatis kegiatan
perkuliahan diliburkan, sementara mahasiswa tetap mengisi daftar hadir dan diharuskan
untuk ikut serta dalam kegiatan kerja bakti ini. Karena itu, aku jadi terlalu bersantai-santai.
Tak terasa, setengah jam terlewati begitu saja. Aku
merasa telat sehingga mulai terburu-buru. Bergegas, kukendarai motorku menuju
kampus dengan kencang. Tak terfikir apapun di benakku saat aku melewati
keramaian pasar dengan kecepatan tinggi, yang aku inginkan hanya sampai kampus
tepat waktu. Tanpa kusadari tiba-tiba,
ada seorang ibu yang menaiki motor menyeberang di tengah keramaian jalanan pasar. Aku mencoba mengerem motorku, sayangnya itu tak cukup untuk menghentikan laju motorku yang masih kencang. Naasnya, aku menabrak ibu tersebut dan kami berdua terjatuh.
ada seorang ibu yang menaiki motor menyeberang di tengah keramaian jalanan pasar. Aku mencoba mengerem motorku, sayangnya itu tak cukup untuk menghentikan laju motorku yang masih kencang. Naasnya, aku menabrak ibu tersebut dan kami berdua terjatuh.
Sontak, aku langsung terbangun. Di saat-saat genting itu
yang ada di pikiranku hanyalah keadaan ibu tadi. Aku menemukannya telungkup
disebelahku dan tak sadarkan diri. Aku mencoba membangunkannya, namun ia hanya
mengeram kesakitan, terlihat dari wajahnya luka akibat berbenturan dengan
aspal. Aku ketakutan saat itu, beberapa warga membangunkannya dan menuntunnya.
Warga yang lain berkerumun di sekilingku dan menyalahkanku atas kejadian ini.
“Memang aku yang salah”, batinku.
Tak ada cara lain untuk menghindari amukan warga selain berdamai
dengan ibu itu dan bertanggungjawab atau malah memilih untuk menyelesaikannya
di kepolisian. Tentu saja aku memilih untuk berdamai dengan ibu itu. Suasana
semakin tegang, para warga yang menyalahkanku mendesakku untuk segera
bertindak. Kudekati ibu tadi yang sekarang duduk di pinggir jalan, mencoba
menanyakan keadaan dan menawarkan bantuan. “Nggak apa-apa kok mas,” jawabnya
setelah aku menawarkan bantuan. “Wah, berutung sekali aku, ternyata ibu ini
baik sekali.”, gumamku dalam hati. “emang musibah nggak ada orang yang bisa
ngira mas.”, lanjutnyadengan bijaksana. Ini membuatku tenang dan berfikir
positif, “Benar kata ibu ini, yang sudah terjadi biarlah, pasti ada hikmahnya
dibalik musibah ini.”, batinku. Aku pun menawarinya untuk mengantarkannya ke
rumah sakit, namun ia memilih untuk menunggu keluarganya datang.
Selang seperempat jam kemudian, keluarganya pun datang. Aku
merasa takut saat itu, penampilan mereka terlihat sangat galak, namun aku
dikejutkan lagi oleh perlakuan mereka yang ternyata juga sangat pengertian.
Akhirnya bersama dua orang keluarganya, kami pergi ke rumah sakit menggunakan
mobil mereka.
Sesampainya di rumah sakit, ibu itu langsung ditangani
oleh para perawat. Aku pun berbincang-bincang dengan suaminya, pak Edi namanya,
dan ibu tadi benama bu Sari, kamudian yang menemaninya adalah kakak pak Edi.
Dan untuk kedua kalinya aku mendengar kata-kata yang sama yang terlontar dari pak
Edi itu, “Nggak apa-apa mas, namanya juga musibah, nggak ada orang yang ngira.”
Kata-kata pak Edi membuatku tenang, kini yang membuatku khawatir hanyalah
keadaan motorku yang kutinggal di pasar dengan kunci kontak yang masih
menempel. Namun sekali lagi, pak Edi kembali menenangkanku.
Setelah bu Sari selesai dirawat, aku pun membayar
tagihannya dan kami pulang ke rumahnya untuk mesdiskusikan masalah ini. Sampai
di rumahnya, aku terkejut dengan pajangan patung-patung simbol Kristen seperti
salib, Yesus, Maria, dan lain-lain. Tampak juga di rumahnya bekas-bekas
perayaan Natal. “Ternyata agama mereka Kristen.”, pikirku.
Dalam percakapan kami di rumah bu Sari, kami membuat
kesepakatan. Selama bu Sari libur dari kerjanya, maka aku membantu biaya
keseharian bu Sari semampuku. Karena mereka juga mengerti kalau aku mahasiswa
dan jauh dari tempat asalku.
Setelah berdiskusi dengan keluarga bu Sari, aku kembali
ke pasar dan mencari motorku, untunglah para pegawai pasar menyimpannya dengan
baik. Kemudian, aku pun pulang ke asramaku.
Sore harinya, aku ditemani sahabatku kembali ke rumah bu
Sari dan memberikan sejumlah uang untuk biaya hidup sehari-harinya sekaligus
perbaikan motornya. Di sana kami sempat berbincang-bincang cukup lama. Pak Edi
akhirnya menceritakan bahwa dulunya ia beragama Katolik, kemudian setelah ia
menikah dengan bu Sari, ia pun masuk Islam. Ternyata dalam satu rumah tersebut
tinggal tiga saudara pak Edi beserta keluarga mereka juga. Dan yang satu juga
telah menjadi muallaf juga, yang pagi itu mengantarkan kami ke rumah sakit.
“Subhanallah!” gumamku dalam hati takjub. Baru kali ini aku menemui sacara
langsung muallaf yang taat beragama dan memiliki akhlak yang belum tentu
dimiliki oleh orang-orang yang telah beragama Islam sejak lahir. Mereka juga
memiliki toleransi yang kuat dengan saudara yang beda agama meskipun tinggal
dalam satu atap. Ketaatan beragama mereka juga terlihat pada anak-anak mereka
yang dididik untuk disiplin berangkat mengaji. Subhanallah.
Setelah kejadian ini, aku banyak menghabiskan uang, mulai
dari biaya perobatan bu Sari sampai servis motor yang harus mengganti shock
breaker yang patah juga. Namun, dari kejadian ini aku banyak belajar berbagai
hal, mulai dari berhati-hati dalam berkendara yang sebelumnya aku selalu ceroboh, tentang keikhlasan dalam
memberi kepada orang lain, sampai tentang toleransi dalam beragama. Memang,
ketika Allah menginginkan kebaikan bagi kita, sedangkan kita kurang
memperhatikannya, maka Ia akan mengirimkan cambuk kecilnya untuk kita seperti
musibah ini. Namun, yang perlu kita perhatikan bukanlah bagaimana musibah itu
menyusahkan kehidupan kita, akan tetapi apa hikmah dibalik musibah itu. Bagiku,
musibah ini adalah bukti bahwa Allah masih mau menegurku dari kesalahan-kesalahanku
dan menginginkanku untuk menjadi lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar