Jumat, 15 Mei 2015

Ketika Tuhan Menegurku

Ketika Tuhan Menegurku
Jum’at, 21 Februari 2014, seperti biasa aku harus masuk kuliah jam 07.00 WIB. Karena masih ada dampak hujan abu seminggu yang lalu, kampusku, UIN Sunan Kalijaga mengadakan kerja bakti hari ini. Otomatis kegiatan perkuliahan diliburkan, sementara mahasiswa tetap mengisi daftar hadir dan diharuskan untuk ikut serta dalam kegiatan kerja bakti ini. Karena itu, aku jadi terlalu bersantai-santai.
Tak terasa, setengah jam terlewati begitu saja. Aku merasa telat sehingga mulai terburu-buru. Bergegas, kukendarai motorku menuju kampus dengan kencang. Tak terfikir apapun di benakku saat aku melewati keramaian pasar dengan kecepatan tinggi, yang aku inginkan hanya sampai kampus tepat waktu. Tanpa kusadari tiba-tiba,
ada seorang ibu yang menaiki motor menyeberang di tengah keramaian jalanan pasar. Aku mencoba mengerem motorku, sayangnya itu tak cukup untuk menghentikan laju motorku yang masih kencang. Naasnya, aku menabrak ibu tersebut dan kami berdua terjatuh.
Sontak, aku langsung terbangun. Di saat-saat genting itu yang ada di pikiranku hanyalah keadaan ibu tadi. Aku menemukannya telungkup disebelahku dan tak sadarkan diri. Aku mencoba membangunkannya, namun ia hanya mengeram kesakitan, terlihat dari wajahnya luka akibat berbenturan dengan aspal. Aku ketakutan saat itu, beberapa warga membangunkannya dan menuntunnya. Warga yang lain berkerumun di sekilingku dan menyalahkanku atas kejadian ini. “Memang aku yang salah”, batinku.
Tak ada cara lain untuk menghindari amukan warga selain berdamai dengan ibu itu dan bertanggungjawab atau malah memilih untuk menyelesaikannya di kepolisian. Tentu saja aku memilih untuk berdamai dengan ibu itu. Suasana semakin tegang, para warga yang menyalahkanku mendesakku untuk segera bertindak. Kudekati ibu tadi yang sekarang duduk di pinggir jalan, mencoba menanyakan keadaan dan menawarkan bantuan. “Nggak apa-apa kok mas,” jawabnya setelah aku menawarkan bantuan. “Wah, berutung sekali aku, ternyata ibu ini baik sekali.”, gumamku dalam hati. “emang musibah nggak ada orang yang bisa ngira mas.”, lanjutnyadengan bijaksana. Ini membuatku tenang dan berfikir positif, “Benar kata ibu ini, yang sudah terjadi biarlah, pasti ada hikmahnya dibalik musibah ini.”, batinku. Aku pun menawarinya untuk mengantarkannya ke rumah sakit, namun ia memilih untuk menunggu keluarganya datang.
Selang seperempat jam kemudian, keluarganya pun datang. Aku merasa takut saat itu, penampilan mereka terlihat sangat galak, namun aku dikejutkan lagi oleh perlakuan mereka yang ternyata juga sangat pengertian. Akhirnya bersama dua orang keluarganya, kami pergi ke rumah sakit menggunakan mobil mereka.
Sesampainya di rumah sakit, ibu itu langsung ditangani oleh para perawat. Aku pun berbincang-bincang dengan suaminya, pak Edi namanya, dan ibu tadi benama bu Sari, kamudian yang menemaninya adalah kakak pak Edi. Dan untuk kedua kalinya aku mendengar kata-kata yang sama yang terlontar dari pak Edi itu, “Nggak apa-apa mas, namanya juga musibah, nggak ada orang yang ngira.” Kata-kata pak Edi membuatku tenang, kini yang membuatku khawatir hanyalah keadaan motorku yang kutinggal di pasar dengan kunci kontak yang masih menempel. Namun sekali lagi, pak Edi kembali menenangkanku.
Setelah bu Sari selesai dirawat, aku pun membayar tagihannya dan kami pulang ke rumahnya untuk mesdiskusikan masalah ini. Sampai di rumahnya, aku terkejut dengan pajangan patung-patung simbol Kristen seperti salib, Yesus, Maria, dan lain-lain. Tampak juga di rumahnya bekas-bekas perayaan Natal. “Ternyata agama mereka Kristen.”, pikirku.
Dalam percakapan kami di rumah bu Sari, kami membuat kesepakatan. Selama bu Sari libur dari kerjanya, maka aku membantu biaya keseharian bu Sari semampuku. Karena mereka juga mengerti kalau aku mahasiswa dan jauh dari tempat asalku.
Setelah berdiskusi dengan keluarga bu Sari, aku kembali ke pasar dan mencari motorku, untunglah para pegawai pasar menyimpannya dengan baik. Kemudian, aku pun pulang ke asramaku.
Sore harinya, aku ditemani sahabatku kembali ke rumah bu Sari dan memberikan sejumlah uang untuk biaya hidup sehari-harinya sekaligus perbaikan motornya. Di sana kami sempat berbincang-bincang cukup lama. Pak Edi akhirnya menceritakan bahwa dulunya ia beragama Katolik, kemudian setelah ia menikah dengan bu Sari, ia pun masuk Islam. Ternyata dalam satu rumah tersebut tinggal tiga saudara pak Edi beserta keluarga mereka juga. Dan yang satu juga telah menjadi muallaf juga, yang pagi itu mengantarkan kami ke rumah sakit. “Subhanallah!” gumamku dalam hati takjub. Baru kali ini aku menemui sacara langsung muallaf yang taat beragama dan memiliki akhlak yang belum tentu dimiliki oleh orang-orang yang telah beragama Islam sejak lahir. Mereka juga memiliki toleransi yang kuat dengan saudara yang beda agama meskipun tinggal dalam satu atap. Ketaatan beragama mereka juga terlihat pada anak-anak mereka yang dididik untuk disiplin berangkat mengaji. Subhanallah.

Setelah kejadian ini, aku banyak menghabiskan uang, mulai dari biaya perobatan bu Sari sampai servis motor yang harus mengganti shock breaker yang patah juga. Namun, dari kejadian ini aku banyak belajar berbagai hal, mulai dari berhati-hati dalam berkendara yang sebelumnya aku  selalu ceroboh, tentang keikhlasan dalam memberi kepada orang lain, sampai tentang toleransi dalam beragama. Memang, ketika Allah menginginkan kebaikan bagi kita, sedangkan kita kurang memperhatikannya, maka Ia akan mengirimkan cambuk kecilnya untuk kita seperti musibah ini. Namun, yang perlu kita perhatikan bukanlah bagaimana musibah itu menyusahkan kehidupan kita, akan tetapi apa hikmah dibalik musibah itu. Bagiku, musibah ini adalah bukti bahwa Allah masih mau menegurku dari kesalahan-kesalahanku dan menginginkanku untuk menjadi lebih baik lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar