Jumat, 15 Mei 2015

Ananilis Psikologi Komunikasi dalam Film “Cinta Suci Zahrana”

Ananilis Psikologi Komunikasi
dalam Film “Cinta Suci Zahrana”
Abdul Aziz –NIM. 13210013
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam FDY UIN Sunan Kalijaga
Judul                           : Cinta Suci Zahrana
Produser                      : Habiburrahman El Shirazy dan Leo Sutanto
Sutradara                     : Chaerul Umam
Pemeran Utama           : Meyda Sefira sebagai Zahrana
  Miller sebagai Hasan
Pemeran Pembantu     : Amoroso Katamsi Sebagai Pak Munajat
  Cici Tegal Sebagai Bu Karsih
  Citra Kirana Sebagai Nina
  El Manik Sebagai KH. Amir Shadiq
  Faradina Sebagai Lina
  Kholidi Asadil Alam Sebagai Rachmad
  Lenny Marlina Sebagai dr. Zulaikha
  Merry Mustaf Sebagai Ir. Merlin
  Nena Rosier Sebagai Bu Munajat
  Rahman Yakob Sebagai Sukarman
  Sitoresmi Prabuningrat sebagai Nyai Sa’adah
Abstrak / Ringkasan    : Berkisah tentang sosok Zahrana, wanita pertama di Indonesia yang mendapat penghargaan Internasional dalam bidang
arsitek. Masalah datang di usia Rana yang kunjung menua namun dia belum menikah. Maka tak heran jika Rana mendapat tekanan dari orang tua untuk segera menikah. Perjalanan mencari pasangan inilah yang membuat cerita film Cinta Suci Zahrana bergulir.
Menuntut ilmu setinggi mungkin memang penting, namun kodrat manusia yang diciptakan berpasang-pasang tidak bisa ditolak lagi. Menyeimbangkan antara karir akademik dan karir membina rumah tangga wajib hukumnya. Menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan dan cinta, seakan itulah yang ingin disampaikan oleh Habiburrahman El Shirazy dalam karyanya ini.
Memang menjadi sebuah tardisi di masyarakat bahwa perempuan harus menikah di usia yang relatif lebih muda dari usia lelaki untuk menikah. Prestasi yang tinggi seakan tidak ada artinya jika perempuan tersebut belum mendapat jodoh. Begitu pula dalam ikatan rumah tangga, lelaki mesti lebih dominan dalam berbagai aspek. Alhasil, terkadang perempuan yang berpendidikan tinggi cenderung lebih sulit untuk menemukan pasangan hidupnya. Inilah konstruksi yang ada di masyarakat bangsa timur, termasuk Indonesia.
Konstruksi yang ada di masyarakat tersebut coba dituangkan dalam film “Cinta Suci Zahrana”. Film ini mengisahkan tentang Dewi Zahrana, sesosok wanita jenius yang telah berusia 34 tahun. Ia berhasil mendapatkan berbagai prestasi di bidang arsitektur dari dalam maupun luar negeri. Zahrana seakan membuktikan bahwa wanita pun bisa menapaki jenjang yang tinggi dalam karir dan prestasi akademik.
Zahrana digambarkan sebagai sosok wanita yang sempurna tidak hanya dengan paras yang cantik, namun juga kecerdasan dan kebaikan hatinya. Namun itu semua seakan belum membanggakan ketika dihadapkan dengan kultur timur. Seorang wanita berusia 34 tahun yang belum menikah dianggap sebagai sebuah kesalahan meski dengan segudang prestasi dan kelebihan. Akibatnya, orang tuanya yang mestinya bangga padanya pun malah berbalik kecewa.
Konflik zahrana disajikan secara apik dalam film ini. Mengingatkan kepada kita meskipun kita harus mengenyang pendidikan setinggi mungkin, namun kita juga tidak boleh melupakan sunah Rasul, yaitu menikah.



Analisis Isi
a.      Analisis Komunikasi Efektif
Komunikasi efektif terjadi ketika bu dokter Zulaikha memberi nasehat kepada Zahrana untuk tetap tegar setelah ditinggal mati suaminya. Sebelum ia kedatangan bu Zulaikha ia nampak sangat lesu dan murung, akan tetapi setelah bertemu dan berbincang-bincang dengan bu Zul ia seperti mendapat semangat hidupnya lagi.
b.      Analisi Gaya Komunikasi
1.      Agresif
Komunikasi agresif  terjadi ketika Zahrana siuman di rumah sakit dan ia kehilangan semangatnya. Ia sama sekali tidak menerima saran Lina teman baiknya. "Lebih baik aku mati saja Lin. Aku nyaris tidak kuat!" katanya dalam pelukan Lina dengan terisak-isak. "Sebut nama Allah ya Rana! Sebut nama Allah! Ingatlah Allah! Bersabarlah! Mintalah kepada Allah agar musibah ini diberi ganti yang lebih baik." Lina mencoba menguatkan. "Tapi aku bisa gila Lin. Aku bisa gila! Aku shock! Daripada aku gila lebih baik aku mati saja!" "Tidak, kau tidak akan gila. Kau akan baik-baik saja. Percayalah ini ujian dari Allah untuk memilihmu menjadi kekasih-Nya." "Tak tahu aku harus bagaimana Lin."
2.      Submisif
Komunikasi submisif terjadi ketika ibu Zahrana menasehatinya setelah menolak lamaran pak Karman. Ia mengatakan kurang saleh apanya pak Karman ia sudah haji. Zahrana membahtahnya, belum tentu orang yang sudah haji berakhlak baik. Bu Karsih tidak menjawabnya. Kemudian Zahrana mengatakan, "Sulit bagi Rana menjelaskannya kepada Ibu dan Bapak. Rana ini bawahannya Bu. Rana lebih tau seperti apa akhlaknya pak Karman." Bu Karsih akhirnya tidak bisa menolak lagi apa yang dikatakan anaknya meskipun masih ingin. Akhirnya ia hanya terdiam dengan wajah murung dan meninggalkannya.
3.      Asertif
Komunikasi asertif terjadi ketika Zahrana menolak lamaran pak Sukarman. Ia menjawab dengan tenang, "Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad Saw., pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy syaithan. Tergesa-gega itu datangnya dari setan' Saya tidak mau tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan siapapun. Termasuk diri saya sendiri. Maka perkenankan saya untuk menjawabnya tiga hari ke depan. Saya akan langsung sampaikan kepada Pak Karman yang saya hormati. Maafkan jika saya tidak bisa menjawab sekarang."
c.       Analisis Pola Pemikiran Gender
Berdasarkan analisis penulis, pola pemikian gender dalam film “Cinta Suci Zahrana” ini cenderung bersifat moderat. Karena tokoh utama dalam film ini mencoba melawan pemikiran tentang konsep laki-laki harus lebih perfek dari perempuan dalam rumah tangga. Dikisahkan Zahrana yang berpendidikan tinggi mau menerima calon suami yang tingkat pendidikan yang jauh di bawahnya. Ditambah lagi, Zahrana yang berprofesi sebagai dosen kemudian beralih menjadi guru tidak keberatan dengan Rachmad, calon suaminya tersebut yang berprofesi sebagai penjual krupuk keliling.
Di akhir cerita, ia akhirnya menikah dengan Hasan yang jauh lebih muda darinya. Padahal umumnya dalam masyarakat seorang lelaki akan mencari calon istri yang lebih muda darinya. Seorang suami yang jauh lebih muda dari istrinya akan dipandang kurang pantas. Padahal Nabi Muhammad tidak mengajarkan seperti itu, beliau bahkan menikahi Khadijah yang berusia 40 tahun sementara beliau berusia 25 tahun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar