Ananilis Psikologi Komunikasi
dalam Film “Cinta Suci Zahrana”
dalam Film “Cinta Suci Zahrana”
Abdul Aziz –NIM. 13210013
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam FDY UIN
Sunan Kalijaga

Produser : Habiburrahman El Shirazy dan Leo
Sutanto
Sutradara : Chaerul Umam
Pemeran Utama :
Meyda Sefira sebagai Zahrana
Miller sebagai Hasan
Pemeran Pembantu :
Amoroso Katamsi Sebagai Pak Munajat
Cici
Tegal Sebagai Bu Karsih
Citra
Kirana Sebagai Nina
El Manik Sebagai KH. Amir Shadiq
Faradina Sebagai Lina
Kholidi Asadil Alam Sebagai Rachmad
Lenny Marlina Sebagai dr. Zulaikha
Merry Mustaf Sebagai Ir. Merlin
Nena Rosier Sebagai Bu Munajat
Rahman Yakob Sebagai Sukarman
Sitoresmi Prabuningrat sebagai Nyai Sa’adah
Abstrak /
Ringkasan : Berkisah
tentang sosok Zahrana, wanita pertama di Indonesia yang mendapat penghargaan
Internasional dalam bidang
arsitek. Masalah datang di usia Rana yang kunjung menua namun dia belum menikah. Maka tak heran jika Rana mendapat tekanan dari orang tua untuk segera menikah. Perjalanan mencari pasangan inilah yang membuat cerita film Cinta Suci Zahrana bergulir.
arsitek. Masalah datang di usia Rana yang kunjung menua namun dia belum menikah. Maka tak heran jika Rana mendapat tekanan dari orang tua untuk segera menikah. Perjalanan mencari pasangan inilah yang membuat cerita film Cinta Suci Zahrana bergulir.
Menuntut ilmu
setinggi mungkin memang penting, namun kodrat manusia yang diciptakan
berpasang-pasang tidak bisa ditolak lagi. Menyeimbangkan antara karir akademik
dan karir membina rumah tangga wajib hukumnya. Menyeimbangkan antara ilmu
pengetahuan dan cinta, seakan itulah yang ingin disampaikan oleh Habiburrahman
El Shirazy dalam karyanya ini.
Memang menjadi
sebuah tardisi di masyarakat bahwa perempuan harus menikah di usia yang relatif
lebih muda dari usia lelaki untuk menikah. Prestasi yang tinggi seakan tidak
ada artinya jika perempuan tersebut belum mendapat jodoh. Begitu pula dalam
ikatan rumah tangga, lelaki mesti lebih dominan dalam berbagai aspek. Alhasil,
terkadang perempuan yang berpendidikan tinggi cenderung lebih sulit untuk
menemukan pasangan hidupnya. Inilah konstruksi yang ada di masyarakat bangsa
timur, termasuk Indonesia.
Konstruksi yang
ada di masyarakat tersebut coba dituangkan dalam film “Cinta Suci Zahrana”.
Film ini mengisahkan tentang Dewi Zahrana, sesosok wanita jenius yang telah
berusia 34 tahun. Ia berhasil mendapatkan berbagai prestasi di bidang
arsitektur dari dalam maupun luar negeri. Zahrana seakan membuktikan bahwa
wanita pun bisa menapaki jenjang yang tinggi dalam karir dan prestasi akademik.
Zahrana
digambarkan sebagai sosok wanita yang sempurna tidak hanya dengan paras yang
cantik, namun juga kecerdasan dan kebaikan hatinya. Namun itu semua seakan
belum membanggakan ketika dihadapkan dengan kultur timur. Seorang wanita
berusia 34 tahun yang belum menikah dianggap sebagai sebuah kesalahan meski
dengan segudang prestasi dan kelebihan. Akibatnya, orang tuanya yang mestinya
bangga padanya pun malah berbalik kecewa.
Konflik zahrana
disajikan secara apik dalam film ini. Mengingatkan kepada kita meskipun kita
harus mengenyang pendidikan setinggi mungkin, namun kita juga tidak boleh
melupakan sunah Rasul, yaitu menikah.
Analisis Isi
a. Analisis
Komunikasi Efektif
Komunikasi efektif terjadi ketika bu dokter
Zulaikha memberi nasehat kepada Zahrana untuk tetap tegar setelah ditinggal
mati suaminya. Sebelum ia kedatangan bu Zulaikha ia nampak sangat lesu dan
murung, akan tetapi setelah bertemu dan berbincang-bincang dengan bu Zul ia
seperti mendapat semangat hidupnya lagi.
b. Analisi Gaya
Komunikasi
1. Agresif
Komunikasi agresif terjadi ketika Zahrana siuman di rumah sakit
dan ia kehilangan semangatnya. Ia sama sekali tidak menerima saran Lina teman
baiknya. "Lebih baik aku mati saja Lin. Aku nyaris tidak kuat!"
katanya dalam pelukan Lina dengan terisak-isak. "Sebut nama Allah ya Rana!
Sebut nama Allah! Ingatlah Allah! Bersabarlah! Mintalah kepada Allah agar
musibah ini diberi ganti yang lebih baik." Lina mencoba menguatkan. "Tapi
aku bisa gila Lin. Aku bisa gila! Aku shock! Daripada aku gila lebih baik aku
mati saja!" "Tidak, kau tidak akan gila. Kau akan baik-baik saja.
Percayalah ini ujian dari Allah untuk memilihmu menjadi kekasih-Nya." "Tak
tahu aku harus bagaimana Lin."
2. Submisif
Komunikasi submisif terjadi ketika ibu Zahrana
menasehatinya setelah menolak lamaran pak Karman. Ia mengatakan kurang saleh
apanya pak Karman ia sudah haji. Zahrana membahtahnya, belum tentu orang yang
sudah haji berakhlak baik. Bu Karsih tidak menjawabnya. Kemudian Zahrana
mengatakan, "Sulit bagi Rana menjelaskannya kepada Ibu dan Bapak. Rana ini
bawahannya Bu. Rana lebih tau seperti apa akhlaknya pak Karman." Bu Karsih
akhirnya tidak bisa menolak lagi apa yang dikatakan anaknya meskipun masih
ingin. Akhirnya ia hanya terdiam dengan wajah murung dan meninggalkannya.
3. Asertif
Komunikasi asertif terjadi ketika Zahrana
menolak lamaran pak Sukarman. Ia menjawab dengan tenang, "Saya pernah
mendengar Baginda Nabi Muhammad Saw., pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy
syaithan. Tergesa-gega itu datangnya dari setan' Saya tidak mau tergesa-gesa.
Saya tidak mau mengecewakan siapapun. Termasuk diri saya sendiri. Maka
perkenankan saya untuk menjawabnya tiga hari ke depan. Saya akan langsung
sampaikan kepada Pak Karman yang saya hormati. Maafkan jika saya tidak bisa
menjawab sekarang."
c. Analisis Pola
Pemikiran Gender
Berdasarkan analisis penulis, pola pemikian
gender dalam film “Cinta Suci Zahrana” ini cenderung bersifat moderat. Karena
tokoh utama dalam film ini mencoba melawan pemikiran tentang konsep laki-laki harus
lebih perfek dari perempuan dalam rumah tangga. Dikisahkan Zahrana yang
berpendidikan tinggi mau menerima calon suami yang tingkat pendidikan yang jauh
di bawahnya. Ditambah lagi, Zahrana yang berprofesi sebagai dosen kemudian
beralih menjadi guru tidak keberatan dengan Rachmad, calon suaminya tersebut
yang berprofesi sebagai penjual krupuk keliling.
Di akhir cerita, ia akhirnya menikah dengan
Hasan yang jauh lebih muda darinya. Padahal umumnya dalam masyarakat seorang
lelaki akan mencari calon istri yang lebih muda darinya. Seorang suami yang
jauh lebih muda dari istrinya akan dipandang kurang pantas. Padahal Nabi
Muhammad tidak mengajarkan seperti itu, beliau bahkan menikahi Khadijah yang
berusia 40 tahun sementara beliau berusia 25 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar