Biografi Baruch de Spinoza
A.
Riwayat Hidup
Baruch (Latin:
Benedictus, Portugis: Bento) de Spinoza lahir di Amsterdam, tahun 1632, dari
keluarga Yahudi yang telah melarikan diri dari Portugal (di mana orang Yahudi
dipaksakan untuk menjadi katolik) ke Nederland. Spinoza belajar teologi Yahudi,
bahasa-bahasa klasik, dan filsafat. Dia sangat tertarik dengan filsafat
Descartes. Terutama metode Descartes, metode ilmu pasti, akan main peranan
penting dalam pikiran Spinoza.[1]
Dalam umat Yahudi Amsterdam ia mendapat pendidikan dalam Torah dan
Talmud. Namun, pada tahun 1656 ia dikeluarkan dari umat Yahudi karena ajaran-ajarannya. Sejak itu Spinoza membatasi diri pada kehidupan yang sederhana, jauh dari keramaian. Ia hanya bergaul dengan beberapa kawan sepikiran. Untuk menambah pendapatan ia bekerja sebagai pengasah kacamata.[2]
Talmud. Namun, pada tahun 1656 ia dikeluarkan dari umat Yahudi karena ajaran-ajarannya. Sejak itu Spinoza membatasi diri pada kehidupan yang sederhana, jauh dari keramaian. Ia hanya bergaul dengan beberapa kawan sepikiran. Untuk menambah pendapatan ia bekerja sebagai pengasah kacamata.[2]
Dalam dunia
pemikir dan ilmuwan, ia segera menimbulkan perhatian. Ia berkorespondensi
dengan beberapa pemikir terbesar sezamannya. Pada tahun 1673 ia ditawari
menjadi profesor di Universitas Heidelberg di Jerman, tetapi tawaran ini
ditolaknya. Karyanya yang utama adalah Ethica ordine geometrico demonstrata (Etika
yang dibuktikan dengan cara ilmu ukur). Spinoza meninggal pada tahun 1677 di
Den Haag. Semula tulisan-tulisan kurang diperhatikan. Lawan-lawannya menuduh
dia ateis. Namun, sejak pertengahan abad ke-18 pemikirannya semakin
berpengaruh, terutama di Jerman. Lessing, Herder, dan Goethe memperoleh banyak
inspirasi dari pemikiran Spinoza. Idealisme Jerman tidak mungkin berkembang
tanpa karya sang resi dari Amsterdam itu.[3]
B. Tulisan-tulisan
Terpenting
1670 – Tractatus theologico-politicus
1677 – Ethica, ordine geometrico
demonstrata (Etika, dengan bukti-bukti menurut metode ilmu ukur)
1677 – Tractatus politicus[4]
C. Pikiran-pikiran
Pokok[5]
1.
Rasionalisme dan mistik
Filsafat Spinoza merupakan ramuan antara
rasionalisme dan mistik. Bentuk beberapa tulisan Spinoza memperlihatkan
pengaruh Descartes, tetapi di samping itu, tampak juga pengaruh Plotinos,
Bruno, dan pemikir-pemikir Arab dan Yahudi. Ada dua interpretasi dari pikiran
Spinoza yang cukup berbeda. Yang pertama, intepretasi rasionalistis, memandang
pikiran Spinoza sebagai contoh paling murni dari panteisme. Spinoza di sini
dianggap sebagai pemikir pertama, sesudah jaman klasik, yang bukan orang
kristiani. Interpretasi rasionalistis memandang Spinoza sebagai bapak
liberalisme religius modern.
Interpretasi kedua juga memandang Spinoza
sebagai penteis, tetapi Spinoza di sini digambarkan sebagai seorang yang sangat
religius, seorang santo, walaupun teologinya cukup jauh dari dari ortodoksi
agama Yahudi dan agama Masehi. Mungkin kedua interpretasi itu cocok. Spinoza
berbicara terus-menerus tentang hubungan antara Allah dan manusia, tetapi dalam
hubungan ini manusia (dan seluruh kosmos) sama sekali lebur dalam Allah.
2.
Allah = Alam = Satu Substansi
Menurut Spinoza, seluruh kenyataan merupakan
kesatuan, dan kesatuan ini, – sebagai satu-satunya substansi – itu sama dengan
Allah atau Alam. Segala sesuatu “termuat” dalam Allah-Alam, “sebagai
tanda-tanda atas sehelai kertas”. Allah ini sama dengan aturan kosmos. Kehendak
Allah, itu kehendak alam, maka hukum-hukum alam itu kehendak Allah.
Penyelenggaraan itu sama dengan keperluan mutlak, sama dengan nasib.
Dalam cara ini
Spinoza dapat mengatakan, cinta kepada Allah, itu cinta kepada nasib, Amo
Dei = amor fai.
3.
Etika
Pedoman untuk menjadi bahagia disajikan dalam Ethica
Spinoza. Tulisan ini seperti buku ilmu ukur. Setiap bab mulai dengan
aksioma-aksioma, dan atas dasar ini diberi dalil-dalil yang kemudian
dibuktikan. Tujuan etika ini ialah kebahagiaan. Kebahagiaan itu menurut Spinoza
sama dengan kebebasan. Tetapi kata “kebebasan” pada Spinoza mempunyai arti yang
agak istimewa. Kebebasan itu menurut Spinoza hanya suatu perasaan. Perasaan ini
dapat dicapai oleh pengertian. Kalau berkat pengertiannya manusia bebas dari
semua gerak emosional (Spinoza memakai kata affectus), maka dia “merasa
bebas”. Kebahagiaan itu kebebasan, kebebasan itu “mengerti keperluan”, dan “mengerti
keperluan” itu memerdekakan emosi-emosi. Kebebasan itu hanya: menyesuaikan diri
dengan keseluruhan. Spinoza mengatakan bahwa ada tiga jenis pengetahuan:
pengetahuan pancaindera, pengetahuan akal budi, dan pengetahuan intuitif (scientia
intuitiva). Pengetahuan intuitif ini adalah pengetahuan yang paling
sempurna. Orang yang mencapai bentuk pengetahuan ini, melihat segala sesuatu
dalam perspektif keabadian (sub specie aeternitas).
Pengetahuan ini, yaitu kontemplasi, memberi
persesuaian dengan keseluruhan, dan sebagai hasil dari itu, kebebasan dan
kebahagiaan. Filsafat Spinoza di sini mendapat ciri religius. Karena di sini
pengertian, cinta kepada Allah, kebebasan dan kebahagiaan menjadi satu.
4.
Kebebasan untuk Berpikir
Juga Tractarus Theologico-politicus dari
Spinoza penting untuk sejarah filsafat Barat. Dalam tulisan ini disajikan
“tafsir bebas” dari Kitab Suci (untuk memperlihatkan bahwa Kitab Suci tidak
dapat dipakai untuk pembenaran politik konservatif). Namun kecuali sebuah
traktat tentang tafsir, tulisan ini juga merupakan traktat tentang kebebasan
politik. Kata Spinoza, dalam bidang tindakan, seluruh kekuasaan itu hanya untuk
pemerintah, tetapi dalam bidang berpikir dan berbicara, semua anggota
masyarakat mempunyai kebebasan penuh. Setiap orang bebas untuk memberi opininya
tentang politik dan agama. Hanya: dia tidak pernah boleh bertindak melawan
politik pemerintah, supaya ketenangan (syarat mutlak untuk kebebasan semua
anggota masyarakat) tidak diganggu. Secara ini terjadi suatu keseimbangan:
kekuasaan eksekutif itu untuk pemerintah, tetapi bidang berpikir, berbicara,
dan agama itu sama sekali bebas. Tractatus ini mengalami banyak kritik dalam
abad ketujuh belas. Ide-ide Spinoza tentang tafsir dan politik dianggap terlalu
“liberal”. Baru satu abad kemudian Tractatus diterima dengan positif.
D. Pengaruh
Spinoza (“the
noblest and most lovable of the great philosophers,” kata Bertrand Russell)
dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas dipandang sebagai pemikir yang
paling moddern. Namun baru sekitar tahun 1.800 kepentingannya diakui secara
lebih umum, terutama melalui pemikir-pemikir seperti Schelling, Lessing,
Goethe, dan Hegel. Dalam dunia Barat filsafat Spinoza sekarang dianggap sebagai
panteisme mistik-rasional. Di negara-negara dengan ideologi
materialistis-dialektis, Spinoza dipandang sebagai pemikir
materialistis-ateistis.[6]
Referensi:
-
Harry, Hamersma. 1992. Tokoh-tokoh Filsafat Barat
Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
-
Magniz-Suseno, Franz. 1997. Tiga Belas Tokoh Etika
Sejak Zaman Yunani sampai Abad Ke-19. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar