Jumat, 15 Mei 2015

Biografi Baruch de Spinoza

Biografi Baruch de Spinoza
A.    Riwayat Hidup
Baruch (Latin: Benedictus, Portugis: Bento) de Spinoza lahir di Amsterdam, tahun 1632, dari keluarga Yahudi yang telah melarikan diri dari Portugal (di mana orang Yahudi dipaksakan untuk menjadi katolik) ke Nederland. Spinoza belajar teologi Yahudi, bahasa-bahasa klasik, dan filsafat. Dia sangat tertarik dengan filsafat Descartes. Terutama metode Descartes, metode ilmu pasti, akan main peranan penting dalam pikiran Spinoza.[1] Dalam umat Yahudi Amsterdam ia mendapat pendidikan dalam Torah dan
Talmud. Namun, pada tahun 1656 ia dikeluarkan dari umat Yahudi karena ajaran-ajarannya. Sejak itu Spinoza membatasi diri pada kehidupan yang sederhana, jauh dari keramaian. Ia hanya bergaul dengan beberapa kawan sepikiran. Untuk menambah pendapatan ia bekerja sebagai pengasah kacamata.[2]
Dalam dunia pemikir dan ilmuwan, ia segera menimbulkan perhatian. Ia berkorespondensi dengan beberapa pemikir terbesar sezamannya. Pada tahun 1673 ia ditawari menjadi profesor di Universitas Heidelberg di Jerman, tetapi tawaran ini ditolaknya. Karyanya yang utama adalah Ethica ordine geometrico demonstrata (Etika yang dibuktikan dengan cara ilmu ukur). Spinoza meninggal pada tahun 1677 di Den Haag. Semula tulisan-tulisan kurang diperhatikan. Lawan-lawannya menuduh dia ateis. Namun, sejak pertengahan abad ke-18 pemikirannya semakin berpengaruh, terutama di Jerman. Lessing, Herder, dan Goethe memperoleh banyak inspirasi dari pemikiran Spinoza. Idealisme Jerman tidak mungkin berkembang tanpa karya sang resi dari Amsterdam itu.[3]
B.     Tulisan-tulisan Terpenting
1670 – Tractatus theologico-politicus
1677 – Ethica, ordine geometrico demonstrata (Etika, dengan bukti-bukti menurut metode ilmu ukur)
1677 – Tractatus politicus[4]

C.    Pikiran-pikiran Pokok[5]
1.      Rasionalisme dan mistik
Filsafat Spinoza merupakan ramuan antara rasionalisme dan mistik. Bentuk beberapa tulisan Spinoza memperlihatkan pengaruh Descartes, tetapi di samping itu, tampak juga pengaruh Plotinos, Bruno, dan pemikir-pemikir Arab dan Yahudi. Ada dua interpretasi dari pikiran Spinoza yang cukup berbeda. Yang pertama, intepretasi rasionalistis, memandang pikiran Spinoza sebagai contoh paling murni dari panteisme. Spinoza di sini dianggap sebagai pemikir pertama, sesudah jaman klasik, yang bukan orang kristiani. Interpretasi rasionalistis memandang Spinoza sebagai bapak liberalisme religius modern.
Interpretasi kedua juga memandang Spinoza sebagai penteis, tetapi Spinoza di sini digambarkan sebagai seorang yang sangat religius, seorang santo, walaupun teologinya cukup jauh dari dari ortodoksi agama Yahudi dan agama Masehi. Mungkin kedua interpretasi itu cocok. Spinoza berbicara terus-menerus tentang hubungan antara Allah dan manusia, tetapi dalam hubungan ini manusia (dan seluruh kosmos) sama sekali lebur dalam Allah.
2.      Allah = Alam = Satu Substansi
Menurut Spinoza, seluruh kenyataan merupakan kesatuan, dan kesatuan ini, – sebagai satu-satunya substansi – itu sama dengan Allah atau Alam. Segala sesuatu “termuat” dalam Allah-Alam, “sebagai tanda-tanda atas sehelai kertas”. Allah ini sama dengan aturan kosmos. Kehendak Allah, itu kehendak alam, maka hukum-hukum alam itu kehendak Allah. Penyelenggaraan itu sama dengan keperluan mutlak, sama dengan nasib.
      Dalam cara ini Spinoza dapat mengatakan, cinta kepada Allah, itu cinta kepada nasib, Amo Dei = amor fai.
3.      Etika
Pedoman untuk menjadi bahagia disajikan dalam Ethica Spinoza. Tulisan ini seperti buku ilmu ukur. Setiap bab mulai dengan aksioma-aksioma, dan atas dasar ini diberi dalil-dalil yang kemudian dibuktikan. Tujuan etika ini ialah kebahagiaan. Kebahagiaan itu menurut Spinoza sama dengan kebebasan. Tetapi kata “kebebasan” pada Spinoza mempunyai arti yang agak istimewa. Kebebasan itu menurut Spinoza hanya suatu perasaan. Perasaan ini dapat dicapai oleh pengertian. Kalau berkat pengertiannya manusia bebas dari semua gerak emosional (Spinoza memakai kata affectus), maka dia “merasa bebas”. Kebahagiaan itu kebebasan, kebebasan itu “mengerti keperluan”, dan “mengerti keperluan” itu memerdekakan emosi-emosi. Kebebasan itu hanya: menyesuaikan diri dengan keseluruhan. Spinoza mengatakan bahwa ada tiga jenis pengetahuan: pengetahuan pancaindera, pengetahuan akal budi, dan pengetahuan intuitif (scientia intuitiva). Pengetahuan intuitif ini adalah pengetahuan yang paling sempurna. Orang yang mencapai bentuk pengetahuan ini, melihat segala sesuatu dalam perspektif keabadian (sub specie aeternitas).
Pengetahuan ini, yaitu kontemplasi, memberi persesuaian dengan keseluruhan, dan sebagai hasil dari itu, kebebasan dan kebahagiaan. Filsafat Spinoza di sini mendapat ciri religius. Karena di sini pengertian, cinta kepada Allah, kebebasan dan kebahagiaan menjadi satu.
4.      Kebebasan untuk Berpikir
Juga Tractarus Theologico-politicus dari Spinoza penting untuk sejarah filsafat Barat. Dalam tulisan ini disajikan “tafsir bebas” dari Kitab Suci (untuk memperlihatkan bahwa Kitab Suci tidak dapat dipakai untuk pembenaran politik konservatif). Namun kecuali sebuah traktat tentang tafsir, tulisan ini juga merupakan traktat tentang kebebasan politik. Kata Spinoza, dalam bidang tindakan, seluruh kekuasaan itu hanya untuk pemerintah, tetapi dalam bidang berpikir dan berbicara, semua anggota masyarakat mempunyai kebebasan penuh. Setiap orang bebas untuk memberi opininya tentang politik dan agama. Hanya: dia tidak pernah boleh bertindak melawan politik pemerintah, supaya ketenangan (syarat mutlak untuk kebebasan semua anggota masyarakat) tidak diganggu. Secara ini terjadi suatu keseimbangan: kekuasaan eksekutif itu untuk pemerintah, tetapi bidang berpikir, berbicara, dan agama itu sama sekali bebas. Tractatus ini mengalami banyak kritik dalam abad ketujuh belas. Ide-ide Spinoza tentang tafsir dan politik dianggap terlalu “liberal”. Baru satu abad kemudian Tractatus diterima dengan positif.
D.    Pengaruh
Spinoza (“the noblest and most lovable of the great philosophers,” kata Bertrand Russell) dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas dipandang sebagai pemikir yang paling moddern. Namun baru sekitar tahun 1.800 kepentingannya diakui secara lebih umum, terutama melalui pemikir-pemikir seperti Schelling, Lessing, Goethe, dan Hegel. Dalam dunia Barat filsafat Spinoza sekarang dianggap sebagai panteisme mistik-rasional. Di negara-negara dengan ideologi materialistis-dialektis, Spinoza dipandang sebagai pemikir materialistis-ateistis.[6]
           
Referensi:
-          Harry, Hamersma. 1992. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
-          Magniz-Suseno, Franz. 1997. Tiga Belas Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad Ke-19. Yogyakarta: Kanisius.




[1] Hamersma Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 9
[2] Franz Magniz-Suseno, Tiga Belas Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad Ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 97
[3] Ibid.
[4] Hamersma Harry, Tokoh-tokoh..., hlm. 9
[5] Ibid., hlm. 9-12
[6] Ibid., hlm. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar