Jumat, 15 Mei 2015

Observasi ke Tribun Jogja

Observasi ke Tribun Jogja
          Selasa, 23 Desember 2014, saya bersama beberapa teman seangkatan mengadakan observasi ke Tribun Jogja. Kantor Tribun sendiri berada di Jalan Jenderal Sudirman 52 Yogyakarta, tepatnya sebelah timur Gramedia. Di sana kami disambut oleh mas Hendi Kurniawan, yang saat ini menjabat sebagai redaktur Tribun Online. Mas Hendi ini sekaligus sebagai narasumber kami.
            Dalam pembicaraan awal kami, pria yang akrab disapa Hendi ini menyinggung
terlebih dahulu apa itu jurnalistik. Menurutnya, “Jurnalistik adalah menangkap realita dan menuangkan kembali sesuai fakta.” Semakin lama pembicaraan kami semakin santai. Terlebih lagi mas Hendi memang terkesan bukan orang yang ‘formal’. Itu terlihat dari cara berpakaiannya ketika menemui kami, terkesan seperti ‘anak muda’. Dengan suasana santai ini kami pun melanjutkan pertanyaan tentang struktur redaksi di Tribun.
            Struktur redaksi di Tribun sama seperti struktur redaksi koran pada umumnya. Pimpinan tertinggi disebut pimred (pempinan redaksi). Pimred membawahi dua manajer yakni manajer produksi dan manajer liputan. Tugas manajer adalah membawahi redaktur, yakni orang yang mengatur halaman dan membawahi para wartawan secara langsung. Di bawah redaktur ada wartawan yang bertugas mencari berita. Selain itu, ada juga layouter yang bertugas mendesain halaman koran.
Berita yang didapatkan para wartawan diserahkan ke redaktur sesuai dengan halamannya masing-masing untuk diputuskan mana saja berita yang akan diterbitkan. Sementara itu, setiap hari semua redaktur mengadakan rapat dengan manajer untuk menentukan berita yang akan dimuat. Kemudian dari redaktur diserahkan kepada layouter untuk mendesain halaman koran. Setelah itu diserahkan lagi ke redaktur untuk mendapat persetujuan, jika redaktur kurang setuju maka akan dikoreksi lagi, dan jika sudah disetujui maka yang terakhir adalah dicetak. Adapun yang menentukan kebijakan tentang apa saja yang dimuat di halaman koran serta porsi-porsi untuk berita, artikel dan lain sebagainya adalah redaktur, kecuali iklan.
Ketika ditanya apakah ada kerjasama antara Tribun dengan koran lain dalam hal mencari berita, jawaban dari mas Hendi adalah tidak ada. “Tidak ada kerjasama antar institusi, namun antarpersonal bisa jadi,”, tuturnya. Wartawan ketika di lapangan bisa saja bekerjasama dengan wartawan lain dan itu sah-sah saja. Selama hal tersebut tidak melanggar kode etik jurnalistik media tempat wartawan tersebut bernaung. Hubungan kerjasama tersebut lebih karena hubungan teman seprofesi. Jika tidak ada wartawan yang memperoleh berita yang diinginkan, maka redaksi akan memilih mengambil berita dari kantor berita seperti Antara. Dengan membayar 2.000.000,- perbulan, redaksi bisa mengambil berita apapun yang diinginkan. Jadi tidak semua berita diperoleh dari wartawan.
Wartawan Tribun biasanya dibebani tiga berita perharinya. Jam kerja wartawan antara 10.00 – 17.00 WIB. Tapi menurut mas Hendi, sebenarnya kerja wartawan tidak lebih dari tiga jam. Mengapa? Wartawan lebih menghabiskan banyak waktu untuk menunggu informasi-informasi yang bisa dijadikan berita. Terjun ke tempat kejadian, menulis berita serta mendokumentasikannya hanya menghabiskan sedikit waktu. Sebenarnya wartawan hanya perlu mencari berita tanpa memikirkan disukai oleh redaktur maupun tidak, yang penting adalah berita yang ditulis sesuai dengan standar kepenulisan di media tersebut.
Meskipun berita yang diambil sama bahkan dari sumber yang sama pun, contohnya dari kantor berita Antara, standar kepenulisan antara media satu dengan yang lain tetaplah berbeda. Mas Hendi sempat menceritakan pengalamannya ketika ia masih menjadi wartawan Tribun. Ketika itu ada kecelakaan rombongan empat orang keluarga yang menggunakan motor. Kecelakaan tersebut menewaskan dua orang keluarga tersebut, seorang ibu dan anaknya. Di media lain, berita dituangkan dengan tema yang hampir sama, yakni kecelakaan bermotor yang menewaskan dua orang keluarga. Tapi mas Hendi mencoba mencari sesuatu yang lain. Akhirnya ia menghabiskan banyak waktu untuk mencari detail berita tersebut, sampai-sampai ia harus mendatangi rumah korban. Setelah ia gali lebih dalam lagi ternyata ada yang lebih  menarik dari kejadian tersebut. Kecelakaan tersebut terjadi saat keluarga korban dalam perjalanan pulang seusai lamaran. Dan yang melamar tersebut adalah korban meninggal tadi, sementara pernikahan akan dilangsungkan dua minggu lagi. Akhirnya dengan modal informasi tersebut, mas Hendi menulis dengan sudut pandang yang berbeda. Keesokan harinya, mayoritas media cetak menjadikan berita tersebut sebagai headline. Judul yang ditulis hampir sama yakni tentang kecelakaan bermotor menewaskan dua orang keluarga, namun koran Tribun tampil dengan judul yang berbeda sebagai headline, “Kisah Cinta Sardi yang Berakhir Tragedi”, tutur mas Hendi.
Salah satu teman ada yang menyinggung tentang filosofi yang terkenal di media massa, ‘Bad news is good news’. Kata mas Hendi, bad news is good news adalah paradigma lama. “Bad news is good news tapi bukan berarti good news is bad news. Good news tetap saja adalah good news.”, jelasnya. Berita buruk bagaimanapun tidak akan bisa dihilangkan dari pemberitaan. Karena tujuan sebenarnya ditampilkan berita buruk adalah untuk memberi pelajaran kepada masyarakat. Contohnya, dengan adanya berita kecelakaan tragis diharapkan akan menyadarkan masyarakat agar berhati-hati di jalan raya.
            Tentang prioritas pemberitaan, setiap hard news pasti akan menjadi headline news. Berita-berita sampingan seperti features tidak bisa menjadi headline walaupun features tersebut sangat menakjubkan. Mengapa demikian? Karena betapa hebatnya isi features tetap saja kurang berpengaruh bagi orang lain. Misalnya, ada seorang tukang becak yang berhasil menyekolahkan anaknya sampai S3 dan menjadi wisudawan terbaik. Bagi para pembaca memang sangat menginspirasi, tapi hal tersebut tidak banyak berpengaruh juga kepada mereka secara langsung.
            Saya tertarik untuk mengajukan pertanyaan, “Bagaimana langkah-langkah Tribun untuk mempertahankan eksistensinya ketika saat ini  minat generasi muda terhadap media cetak menurun sementara lebih memilih media elektronik?” “Ya media online itu salah satu solusinya.”, tegas mas Hendi. Memang saat ini media online lebih update daripada media cetak. Setelah berita didapatkan, maka berita tersebut bisa langsung diterbitkan lewat media online, akan tetapi media cetak baru dapat menerbitkan berita tersebut paling cepat keesokan harinya. Namun lebih jelasnya, dalam media online Tribun, berita-berita tidak lantas diterbitkan begitu saja, akan tetapi ada beberapa bagian dari berita tersebut disimpan untuk diterbitkan di media cetak keesokan harinya. Ini ditujukan agar pembaca tidak hanya terfokus pada online saja akan tetapi juga membaca media cetak. “Agar tidak bentrok.”, tukasnya.
Saya tertarik untuk bertanya lebih jauh lagi, “Lalu bagaimana dengan persaingan dengan media elektronik seperti TV atau radio? Saat ini orang kan lebih memilih media-media semacam itu untuk mencari informasi daripada membaca media cetak?”. “Saya yakin setiap media memiliki pasar masing-masing.”, jawabnya. “TV memiliki pasar segini, radio segini, koran segini dan sebagainya. Tiap media pasti memiliki pasar masing-masing meski jumlahnya kecil. Pasar yang dibidik dari koran adalah usia 19 sampai 54 tahun. Yang perlu diperhatikan juga adalah bagaimana berebut pasar tersebut dengan para kompetitor.”, lanjutnya.
            “Lalu bagimana mengetahui hal tersebut? Apakah dengan rating seperti yang ada di TV?”, salah seorang teman bertanya. Mas Hendi menjawab bahwasanya tidak ada rating di media cetak. Tetapi ada survey media cetak yang dilakukan oleh lembaga survey, sehingga bisa dilihat media cetak mana yang lebih diminati oleh masyarakat. Meski begitu, media tidak bisa melihat rating di setiap rubrik. Jadi media tidak tahu dari sekian rubrik yang disajikan mana yang paling diminati oleh pembaca.
            Terakhir yang disampaikan oleh mas Hendi tentang terjun dalam dunia jurnalistik. “Yang akan kamu dapat ketika kamu terjun langsung berprofesi di media massa adalah shockculture. Karena yang ada di lapangan mungkin akan jauh berbeda dengan apa yang kita dapat di bangku kuliah.” Kata mas Hendi, “Jadi wartawan itu rumit, tapi gak sulit.”.

            Demikian hasil observasi saya di kantor Tribun Jogja. Semoga bisa bermanfaat bagi para pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar