Observasi ke Tribun Jogja
Selasa, 23
Desember 2014, saya bersama beberapa teman seangkatan mengadakan observasi ke
Tribun Jogja. Kantor Tribun sendiri berada di Jalan Jenderal Sudirman 52
Yogyakarta, tepatnya sebelah timur Gramedia. Di sana kami disambut oleh mas
Hendi Kurniawan, yang saat ini menjabat sebagai redaktur Tribun Online. Mas
Hendi ini sekaligus sebagai narasumber kami.
Dalam pembicaraan awal kami, pria
yang akrab disapa Hendi ini menyinggung
terlebih dahulu apa itu jurnalistik. Menurutnya, “Jurnalistik adalah menangkap realita dan menuangkan kembali sesuai fakta.” Semakin lama pembicaraan kami semakin santai. Terlebih lagi mas Hendi memang terkesan bukan orang yang ‘formal’. Itu terlihat dari cara berpakaiannya ketika menemui kami, terkesan seperti ‘anak muda’. Dengan suasana santai ini kami pun melanjutkan pertanyaan tentang struktur redaksi di Tribun.
terlebih dahulu apa itu jurnalistik. Menurutnya, “Jurnalistik adalah menangkap realita dan menuangkan kembali sesuai fakta.” Semakin lama pembicaraan kami semakin santai. Terlebih lagi mas Hendi memang terkesan bukan orang yang ‘formal’. Itu terlihat dari cara berpakaiannya ketika menemui kami, terkesan seperti ‘anak muda’. Dengan suasana santai ini kami pun melanjutkan pertanyaan tentang struktur redaksi di Tribun.
Struktur redaksi di Tribun sama
seperti struktur redaksi koran pada umumnya. Pimpinan tertinggi disebut pimred
(pempinan redaksi). Pimred membawahi dua manajer yakni manajer produksi dan
manajer liputan. Tugas manajer adalah membawahi redaktur, yakni orang yang
mengatur halaman dan membawahi para wartawan secara langsung. Di bawah redaktur
ada wartawan yang bertugas mencari berita. Selain itu, ada juga layouter yang
bertugas mendesain halaman koran.
Berita yang didapatkan para wartawan diserahkan ke redaktur sesuai dengan
halamannya masing-masing untuk diputuskan mana saja berita yang akan
diterbitkan. Sementara itu, setiap hari semua redaktur mengadakan rapat dengan
manajer untuk menentukan berita yang akan dimuat. Kemudian dari redaktur
diserahkan kepada layouter untuk mendesain halaman koran. Setelah itu
diserahkan lagi ke redaktur untuk mendapat persetujuan, jika redaktur kurang
setuju maka akan dikoreksi lagi, dan jika sudah disetujui maka yang terakhir
adalah dicetak. Adapun yang menentukan kebijakan tentang apa saja yang dimuat
di halaman koran serta porsi-porsi untuk berita, artikel dan lain sebagainya
adalah redaktur, kecuali iklan.
Ketika ditanya apakah ada kerjasama antara Tribun dengan koran lain dalam
hal mencari berita, jawaban dari mas Hendi adalah tidak ada. “Tidak ada
kerjasama antar institusi, namun antarpersonal bisa jadi,”, tuturnya. Wartawan
ketika di lapangan bisa saja bekerjasama dengan wartawan lain dan itu sah-sah
saja. Selama hal tersebut tidak melanggar kode etik jurnalistik media tempat
wartawan tersebut bernaung. Hubungan kerjasama tersebut lebih karena hubungan
teman seprofesi. Jika tidak ada wartawan yang memperoleh berita yang
diinginkan, maka redaksi akan memilih mengambil berita dari kantor berita
seperti Antara. Dengan membayar 2.000.000,- perbulan, redaksi bisa mengambil
berita apapun yang diinginkan. Jadi tidak semua berita diperoleh dari wartawan.
Wartawan Tribun biasanya dibebani tiga berita perharinya. Jam kerja
wartawan antara 10.00 – 17.00 WIB. Tapi menurut mas Hendi, sebenarnya kerja
wartawan tidak lebih dari tiga jam. Mengapa? Wartawan lebih menghabiskan banyak
waktu untuk menunggu informasi-informasi yang bisa dijadikan berita. Terjun ke
tempat kejadian, menulis berita serta mendokumentasikannya hanya menghabiskan
sedikit waktu. Sebenarnya wartawan hanya perlu mencari berita tanpa memikirkan
disukai oleh redaktur maupun tidak, yang penting adalah berita yang ditulis
sesuai dengan standar kepenulisan di media tersebut.
Meskipun berita yang diambil sama bahkan dari sumber yang sama pun,
contohnya dari kantor berita Antara, standar kepenulisan antara media satu
dengan yang lain tetaplah berbeda. Mas Hendi sempat menceritakan pengalamannya
ketika ia masih menjadi wartawan Tribun. Ketika itu ada kecelakaan rombongan
empat orang keluarga yang menggunakan motor. Kecelakaan tersebut menewaskan dua
orang keluarga tersebut, seorang ibu dan anaknya. Di media lain, berita
dituangkan dengan tema yang hampir sama, yakni kecelakaan bermotor yang
menewaskan dua orang keluarga. Tapi mas Hendi mencoba mencari sesuatu yang
lain. Akhirnya ia menghabiskan banyak waktu untuk mencari detail berita
tersebut, sampai-sampai ia harus mendatangi rumah korban. Setelah ia gali lebih
dalam lagi ternyata ada yang lebih menarik
dari kejadian tersebut. Kecelakaan tersebut terjadi saat keluarga korban dalam
perjalanan pulang seusai lamaran. Dan yang melamar tersebut adalah korban
meninggal tadi, sementara pernikahan akan dilangsungkan dua minggu lagi.
Akhirnya dengan modal informasi tersebut, mas Hendi menulis dengan sudut
pandang yang berbeda. Keesokan harinya, mayoritas media cetak menjadikan berita
tersebut sebagai headline. Judul yang ditulis hampir sama yakni tentang
kecelakaan bermotor menewaskan dua orang keluarga, namun koran Tribun tampil
dengan judul yang berbeda sebagai headline, “Kisah Cinta Sardi yang Berakhir
Tragedi”, tutur mas Hendi.
Salah satu teman ada yang menyinggung tentang filosofi yang terkenal di
media massa, ‘Bad news is good news’. Kata mas Hendi, bad news is good news
adalah paradigma lama. “Bad news is good news tapi bukan berarti good news is
bad news. Good news tetap saja adalah good news.”, jelasnya. Berita buruk
bagaimanapun tidak akan bisa dihilangkan dari pemberitaan. Karena tujuan
sebenarnya ditampilkan berita buruk adalah untuk memberi pelajaran kepada
masyarakat. Contohnya, dengan adanya berita kecelakaan tragis diharapkan akan
menyadarkan masyarakat agar berhati-hati di jalan raya.
Tentang prioritas pemberitaan, setiap
hard news pasti akan menjadi headline news. Berita-berita sampingan seperti
features tidak bisa menjadi headline walaupun features tersebut sangat
menakjubkan. Mengapa demikian? Karena betapa hebatnya isi features tetap saja kurang
berpengaruh bagi orang lain. Misalnya, ada seorang tukang becak yang berhasil
menyekolahkan anaknya sampai S3 dan menjadi wisudawan terbaik. Bagi para
pembaca memang sangat menginspirasi, tapi hal tersebut tidak banyak berpengaruh
juga kepada mereka secara langsung.
Saya tertarik untuk mengajukan
pertanyaan, “Bagaimana langkah-langkah Tribun untuk mempertahankan
eksistensinya ketika saat ini minat
generasi muda terhadap media cetak menurun sementara lebih memilih media
elektronik?” “Ya media online itu salah satu solusinya.”, tegas mas Hendi. Memang
saat ini media online lebih update daripada media cetak. Setelah berita
didapatkan, maka berita tersebut bisa langsung diterbitkan lewat media online,
akan tetapi media cetak baru dapat menerbitkan berita tersebut paling cepat
keesokan harinya. Namun lebih jelasnya, dalam media online Tribun, berita-berita
tidak lantas diterbitkan begitu saja, akan tetapi ada beberapa bagian dari
berita tersebut disimpan untuk diterbitkan di media cetak keesokan harinya. Ini
ditujukan agar pembaca tidak hanya terfokus pada online saja akan tetapi juga
membaca media cetak. “Agar tidak bentrok.”, tukasnya.
Saya tertarik untuk bertanya lebih jauh lagi, “Lalu bagaimana dengan persaingan
dengan media elektronik seperti TV atau radio? Saat ini orang kan lebih memilih
media-media semacam itu untuk mencari informasi daripada membaca media cetak?”.
“Saya yakin setiap media memiliki pasar masing-masing.”, jawabnya. “TV memiliki
pasar segini, radio segini, koran segini dan sebagainya. Tiap media pasti
memiliki pasar masing-masing meski jumlahnya kecil. Pasar yang dibidik dari
koran adalah usia 19 sampai 54 tahun. Yang perlu diperhatikan juga adalah
bagaimana berebut pasar tersebut dengan para kompetitor.”, lanjutnya.
“Lalu bagimana mengetahui hal
tersebut? Apakah dengan rating seperti yang ada di TV?”, salah seorang teman
bertanya. Mas Hendi menjawab bahwasanya tidak ada rating di media cetak. Tetapi
ada survey media cetak yang dilakukan oleh lembaga survey, sehingga bisa dilihat
media cetak mana yang lebih diminati oleh masyarakat. Meski begitu, media tidak
bisa melihat rating di setiap rubrik. Jadi media tidak tahu dari sekian rubrik
yang disajikan mana yang paling diminati oleh pembaca.
Terakhir yang disampaikan oleh mas
Hendi tentang terjun dalam dunia jurnalistik. “Yang akan kamu dapat ketika kamu
terjun langsung berprofesi di media massa adalah shockculture. Karena yang ada
di lapangan mungkin akan jauh berbeda dengan apa yang kita dapat di bangku kuliah.”
Kata mas Hendi, “Jadi wartawan itu rumit, tapi gak sulit.”.
Demikian hasil observasi saya di
kantor Tribun Jogja. Semoga bisa bermanfaat bagi para pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar